Akibat Hukum Suami Tidak Memberikan Nafkah Lahir dan Batin Terhadap Istri

2022-10-26 12:10:02 Dipublish Oleh: Admin RA




Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 menjelaskan bahwasannya Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

 

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menyebutkan bahwa Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.[2]

 

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin yang sah antara seorang pria dan wanita yang diakui menurut hukum baik hukum islam maupun hukum positif yang mana tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, sekaligus mentaati perintah-Nya dan melaksanakannya adalah ibadah.

 

Ketika telah terjadinya pernikahan/perkawinan yang sah antara seorang pria dan seorang wanita maka akan menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara suami dan istri.[3]

 

Sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa suami istri memikil kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendir dasar dan susunan masyarakat.[4] Kemudian, Pasal 77 ayat (2) suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada orang lain.[5]

 

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan juga bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.[6] Dan dalam Pasal 33 suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.[7]

 

Baca juga artikel terkait: Ancaman Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

 

Sehingga hal tersebut sudah jelas suami dan istri yang sudah melakukan ikatan perkawinan yang sah memiliki hak dan kewajibannya masing-masing yang mana satu sama lain harus memenuhi hak dan kewajibannya sebagai suami dan istri.

 

Bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin?

Mengenai bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, tentunya hal tersebut suami sudah melalaikan kewajibannya sebagai suami.

 

Sebagaimana Pasal 34 UU Perkawinan ketika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.[8] Bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan juga bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.[9]

 

Jadi sudah jelas bahwa apabila suami melalaikan kewajibannya seperti salah satunya adalah tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin, maka si istri dapat melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan yang berwenang.

 

Apakah ada sanksi pidana apabila suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri?

Dalam hal si suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, dalam hukum pidana termasuk ke dalam penelantaran dalam rumah tangga.

 

Baca juga artikel terkait: Hal Penting Yang Perlu Diperhatikan Dalam Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan

 

Perbuatan penelantaran rumah tangga tentunya dilarang menurut Undang-undang, hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 yaitu:

 

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengam cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.”[10]

 

Pelaku yang melakukan perbuatan penelantaran rumah tangga seperti tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang di dalam lingkup rumah tangga dan mengakibatkan ketergantungan ekonomi karena ada batasan atau larangan untuk bekerja baik di dalam maupun di luar lingkup rumah tangga sehingga korban di bawah kendali orang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15 juta.[11]

 

Sekian dan Terimakasih


Dasar hukum:

1.  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

[1] Pasal 1, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[2] Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam.

[3] Pasal 77, Kompilasi Hukum Islam.

[4] Pasak 77 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam.

[5] Pasal 77 ayat (2), Kompilasi Hukum Islam.

[6] Pasal 30, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[7] Pasal 33, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[8] Pasal 34, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[9] Pasal 77, Kompilasi Hukum Islam.

[10] Pasal 5, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[11] Pasal 49, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Bagikan



location_on

Jl. Jendral Sudirman Komplek Pasar Harjamukti Blok A Ruko No. 08 Kota Cirebon 45143, Jawa Barat, Indonesia

phone

+62 857-5718-3104

email

[email protected]


Copyright © 2024 Dokter Law