Edukasi

Home / Edukasi

Ancaman Hukuman Penyalahgunaan Teknologi Deepfake

Deepfake Technology merupakan salah satu bentuk kecerdasan buatan (AI) yang dapat digunakan untuk menciptakan gambar, suara, hingga video palsu yang dihasilkan dengan cara mengkompilasi sebuah foto, audio, bahkan video dengan yang lainnya sehingga menghasilkan suatu potret peristiwa yang tidak ada atau tidak benar-benar terjadi.Singkatnya Deepfake adalah memasukan gambar, audio, atau video dalam sebuah peristiwa.

 

Seperti contoh mengambil gambar wajah seseorang untuk kemudian menggantikan wajah orang lain, gerakan tubuh atau gerakan bibir yang seolah-olah orang tersebut yang berada dalam konten tersebut, sehingga pengguna media sosial akan sulit membedakan yang asli atau palsu.

 

Bahaya Deepfake Technology dapat menimbulkan adanya kerugian yang dialami seseorang akibat dari penyebaran informasi palsu terhadap diri seseorang. Teknologi Deepfake memanfaatkan data berupa  wajah dari    individu   yang merupakan  bagian  dari data  pribadi  dan berpotensiuntuk disalah gunakan,  baik  itu untuk  tindakan  kejahatan seperti, propaganda,  pornografi,  pencurian identitas ataupun isu privasi terkait lainnya.

 

Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh Teknologi Deepfake antara lain adanya berita bohong yang menyesatkan, ujaran kebencian terhadap seseorang, pornografi, penipuan, sebagai alat propaganda, bahkan dapat dijadikan sebagai alat politik.

 

Ancaman hukuman Penyalahgunaan aplikasi Deepfake :

 

Berita bohong yang menyesatkan

Pengaturan hukum terkait penyebaran hoaks di atas diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi bahwa “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” Sedangkan untuk ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45A ayat (1): “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.”

 

Ujaran Kebencian terhadap seseorang

Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yaitu “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah”.

 

Maraknya pornografi

Pasal 27 Ayat (1) UU ITE, bahwa: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” sedangkan untuk ancaman pidananya terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00”

 

Pasal 29 Undang-Undang tentang Pornografi “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.”

 

Tindak Pidana Penipuan

Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa dengan maksud  untuk  menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara  melawan hak, mempergunakan nama palsu atau  sifat palsu ataupun mempergunakan tipu muslihat ataususunan kata-kata bohong, menggerakan orang lain untuk  menyerahkan suatu  benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang ataumeniadakan suatu piutang, karena salah telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

 

 

Demikian, semoha bermanfaat

 

 

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

 

Admin LR

11 Juli 2023

Syarat-Syarat Adopsi Anak Berdasarkan Hukum Positif

Adopsi anak dalam undang-undang dikenal dengan istilah pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

 

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga atau orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

 

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. 

 

Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

 

Pengangkatan anak di Indonesia antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan hukum adat dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 oleh karena kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa unutk memperoleh jaminan kepastian hukum, untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu putusan pengadilan. 

 

Demikian pula, dengan berlakunya Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, undang-undang ini menetapkan bahwa pengangkatan anak dilakukan berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan negeri.

 

Syarat-syarat Pengangkatan anak 

Calon Anak Angkat :

  1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
  2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
  3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak;
  4. Memerlukan perlindungan khusus.

Calon Orang Tua angkat :

  1. Sehat jasmani dan rohani;
  2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
  3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
  4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
  5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
  6. Tidak merupakan pasangan sejenis;
  7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
  8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
  9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
  10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
  11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
  12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan 
  13. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial

 

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979

 

Admin LR

24 Januari 2023

Pidana Penjara Akibat Perselingkuhan

Jika melihat sebuah konsep perkawinan sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud dengan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

 

Pada prinsipnya tujuan melangsungkan pernikahan adalah saling membahagiakan satu sama lain sebagai pasangan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa ada hal-hal yang menjadi penyebab hancurnya rumah tangga tersebut seperti perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan.

 

Mengutip Psych Central, dalam jajak pendapat terbesar yang paling komprehensif di tahun 1994, Edward Laumann dan tim menemukan bahwa 20% wanita dan lebih dari 31% pria berusia 40-50 tahun melaporkan pernah terlibat dalam hubungan seksual dengan orang lain selain pasangan menikah mereka. 

 

Selain itu, Young dan Alexander dalam buku The Chemistry Between Us: Love, Sex and the Science of Attraction melaporkan bahwa sekitar 30-40% kasus perselingkuhan terjadi dalam pernikahan, untuk wanita dan pria.[1]

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), selingkuh diartikan sebagai 1. Suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong 2. Suka menggelapkan uang; korup 3. Suka menyeleweng.

 

Baca juga : Pertanggungjawaban Hukum Dalam Praktik Arisan Online

 

Dalam hal jika perselingkuhan mengarah kepada perbuatan perzinahan, KUHP secara khusus mengatur sanksi perselingkuhan yang melakukan perzinahan sebagaimana Pasal 284 ayat 1 KUHP, berbunyi :

 

Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan :

  1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya
  2. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 2. aseorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin
  3. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah peresetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau lak-laki yang bukan istri atau suaminya.

 

Pasal 284 merupakan delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan yang dilakukan oleh pihak suami atau istri yang sah dimana  telah dirugikan akibat perselingkuhan tersebut.

 

Sanksi yang dapat diterima oleh pelaku perselingkuhan diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan). Sanksi tersebut dapat berlaku untuk suami/istri maupun perempuan/laki-laki yang menjadi pasangan dalam perselingkuhan yang dilakukan.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi :

[1] https://hellosehat.com/mental/hubungan-harmonis/alasan-berselingkuh-faktor-pemicu-selingkuh/

Admin LR

22 Januari 2023

Perbedaan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan : KUHP Lama dan KUHP Baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023)

Penipuan 

Pasal 378 KUHP lama menyebutkan bahwa :

 

“barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.

 

Pasal 492 UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP baru) :

 

“setiap orang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan dengan pidana penajra paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

 

Baca juga : Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku yang Menghamili Anak Dibawah Umur

 

Penggelapan

 

Pasal 372 KUHP lama :

 

“barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 900 ".

 

Pasal 486 UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP baru) :

 

“setiap orang yang secara mealawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).”

 

Perbedaan Penipuan dan Penggelapan :

  1. Barang tersebut pada awalnya berada dibawah kekuasaan korban, kemudian diserahkan kepada pelaku karena adanya daya upaya dari pelaku untuk menguasai barang tersebut, sedangkan dalam tindak pidana penggelapan barang telah dikuasai oleh pelaku secara sah dan bukan merupakan hasil dari tindak pidana.
  2. dalam tindak pidana Penipuan niat pelaku sudah muncul dari awal sebelum barang tersebut berada dibawah kekuasaannya, dan dikatakan sebagai penipuan ketika korban sudah menyerahkan barang tersebut kepada pelaku, sedangkan niat pelaku dalam tindak pidana penggelapan muncul setelah barang tersebut berada dibawah kekuasaannya.
  3. objek dari tindak pidana penipuan mencakup memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, sedangkan penggelapan terbatas pada barang atau uang

Admin LR

11 Januari 2023

Alasan Nama Firma Hukum Banyak Menggunakan Kata Partners, Rekan, Associates

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Firma hukum adalah jenis firma yang berjalan di bidang pelayanan jasa hukum. Namun, sempatkah kita berfikir bahwa kebanyakan nama Firma Hukum sering diakhiri atau terdapat kata Partners, Rekan, Associates, ternyata ada alasan hukumnya loh.

 

Firma menurut Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan satu nama bersama. Dengan demikian firma di sini memiliki unsur diantaranya yaitu menjalankan perusahaan dan dengan nama bersama atau firma.[1]

 

Baca juga artikel terbaru: Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku yang Menghamili Anak di Bawah Umur

 

Firma hukum sendiri merupakan jenis firma yang bergerak di firma jasa, karena firma hukum fokus kegiatan usahanya adalah dengan menawarkan atau memberikan pelayanan di bidang jasa hukum berdasarkan keahlian.

 

Firma artinya nama bersama, yakni nama seorang sekutu yang digunakan menjadi nama perusahaan (dalam hal ini Fa). Menurut putusan Raad van Justitie (RvJ) Batavial 2 September 1921, nama bersama atau firma itu dapat diambil dari nama:

  1. Nama salah seorang sekutu, misal “Fa Haji Lala”;
  2. Nama salah seorang sekutu dengan tambahan, misal “Fa Anwar & Brother”;
  3. Kumpulan nama para sekutu atau sebagian sekutu, misal “Firma Hukum RAM & Partners” (sebagai singkatan dari Ryan, Abdul, dan Muhit); atau
  4. Nama lain yang bukan nama sekutu atau keluarga, misalnya yang berkaitan dengan tujuan perusahaan, misal “Fa Ayam Taliwang”[2]

Baca juga artikel terbaru: Apakah Pembatalan Perjanjian Sepihak Dibenarkan?

 

Menurut Prof. Dr. H. Zainal Asikin dalam bukunya Pengantar Hukum Perusahaan, butir ke empat di atas dapat diberikan beberapa catatan. Penyebutan nama fiktif sebagai nama perusahaan tidak sesuai dengan jiwa persekutuan dengan firma. Firma artinya nama bersama yang berasal dari nama sekutu.[3] Jika persekutuan firma didirikan oleh Ryan dan Raka, maka persekutuan dapat menggunakan nama bersama yaitu Ryan dan Raka. Dapat juga digunakan nama bersama Ryan dan Rekan, Firma Hukum Ryan & Partners, Firma Hukum Raka & Associates, RR & Partners, atau Firma RR.

 

Itulah alasan hukum mengapa kantor hukum dalam bentuk Firma sering menggunakan kata akhiran Partners, Associates, Rekan, Co. ternyata sudah diatur dalam ketentuan undang-undang.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)


Sumber Bacaan:

[1] Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

[2] Zainal Asikin dan Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta: PT. Kharisma Putra Utama, 2020), hal. 35.

[3] Ibid, hal. 36.

Admin RA

10 Januari 2023

Apakah Pembatalan Perjanjian Sepihak Dibenarkan?

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Permasalahan di bidang hukum perjanjian tentunya begitu beragam, salah satunya adalah pembatalan perjanjian secara sepihak karena disebabkan oleh beberapa hal atau alasan tertentu yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga perjanjian dibatalkan. 

 

Lantas apakah dibenarkan pembatalan perjanjian secara sepihak menurut hukum?

Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menjelaskan bahwasannya suatu Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.[1]

 

Baca juga artikel terkait: Mengenal Unsur-Unsur yang Tertuang dalam Kontrak

 

Berkaitan dengan pembatalan perjanjian secara sepihak pada dasarnya dibolehkan namun tentunya harus memenuhi syarat-syarat yang sudah tertuang dalam Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang pada intinya Pasal tersebutmenyatakan perjanjian antar pihak harus memuat klausul “apabila salah satu pihak/pihak tertentu lalai melakukan kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam perjanjian, maka perjanjian dapat dibatalkan”.[2] Namun, hal tersebut juga harus tetap meminta penetapan pada pengadilan dan secara nyata ada salah satu pihak yang wanprestasi (ingkar janji).

 

Bagaimana jika pembatalan perjanjian secara sepihak tidak memuat syarat yang telah ditentukan Undang-Undang?

Pembatalan perjanjian secara sepihak tanpa dilandasi dengan alasan atau faktor yang jelas dan tidak diatur dalam undang-undang yang menyebabkan perjanjian tersebut batal, tentunya itu akan menimbulkan kerugian. Dan pihak yang merasa dirugikan dapat untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan untuk meminta ganti rugi atas tindakan sepihak yang menyebabkan perjanjian tersebut dibatalkan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek) dijelaskan terkait dengan hal tersebut, yaitu Pasal 1365 yang bebunyi:

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”[3]

 

Baca juga artikel terbaru: Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku yang Menghamili Anak Dibawah Umur 

 

Kemudian, terkait dengan pembatalan perjanjian secara sepihak merupakan termasuk ke dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH), hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4/Yur/Pdt/2018, yang menyatakan:

“Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum[4]

 

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembatalan perjanjian secara sepihak pada dasarnya boleh namun harus memenuhi syarat yang sudah diatur dalam undang-undang. Kemudian apabila pembatalan perjanjian secara sepihak tidak memenuhi syarat tersebut yang diatur, maka pihak yang merasa dirugikan karena perjanjian dibatalkan secara sepihak, dapat untuk mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) untuk meminta ganti rugi atas tindakan tersebut.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).


Sumber Bacaan:

[1] Pasal 1338 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[2] Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[3] Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[4] Eap-lawyer.com

 

 

Admin RA

10 Januari 2023

Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku Yang Menghamili Anak Dibawah Umur

Pergaulan bebas muda-mudi saat ini seringkali membawa hal-hal yang tidak dikehendaki, salah satunya terjadi kehamilan sebelum melangsungkan pernikahan.

 

 Married By Accident (MBA) merupakan tragedy perkawinan terpaksa demi menutup aib yang dikarenakan terjadinya suatu keadaan hamil diluar hubungan pernikahan.

 

Merujuk pada ketentuan hukum Pasal 53 ayat (1) KHI yang menjelaskan bahwa seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) perkawinan wanita yang hamil diluar nikah dengan pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

 

Dalam beberapa kasus, perkawinan tersebut dipaksakan oleh orang tua terhadap anaknya yang masih dibawah umur. 

 

Baca Juga : Penegakan Hukum bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana

 

Sebetulnya jika merujuk pada ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan anak memberikan ketentuan bahwa “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mecegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.

 

Karena pada pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ketentuan bahwa Perkawinan hanya dapat dilangsungkan calon mempelai yang telah mencapai umur yakni calon suami 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

 

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku 

 

Dalam hubungan seorang pria dewasa dan seorang wanita yang dewasa dimana keduanya tidak terikat perkawinan dan tidak ada pemaksaan, dikenal dengan hubungan suka sama suka. Namun, berbeda halnya dengan anak dibawah umur tidak dikenal adanya istilah suka sama suka, tetapi dikenal dengan istilah pemaksaan persetubuhan atau bujuk rayu atau dengan iming-iming agar anak mau melakukan persetubuhan dengan pelaku.

 

Menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perbuhan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan anak Pasal 1 ayat (1) “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan:

 

Ketentuan Pasal 76D UU Perlindungan Anak mengatur soal pemaksaan mengancam anak untuk melakukan persetubuhan. 

 

“setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

 

Ancaman pidananya tertuang dalam Pasal 81 “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)”.

 

Pasal 76E UU Perlindungan Anak “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu , muslihat, melakukan serangkain kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

 

Pasal 82 UU Perlindungan Anak “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana maksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)”.

 

Meskipun pihak pelaku menyatakan bersedia untuk bertanggungjawab, itu dilakukan agar untuk nghindari proses hukum yang berlaku apabila orang tua korban tetap ingin melaporkan kepada pihak berwenang.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak 

Admin LR

10 Januari 2023

Ancaman Hukuman Melakukan Perbuatan Prank Demi Konten

Konten prank seringkali muncul dalam berbagai platform media sosial sebagai salah satu jenis hiburan yang dilakukan oleh seorang content creator.  orang yang melakukan prank terhadap orang lain dikenal dengan istilah Prankster.

 

Prank sendiri dalam bahasa inggris berasal dari kata practical joke yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti lelucon praktikal atau terapan. Prank dalam KBBI diartikan sebagai senda gurau, kelakar, olok-olok, dan seloroh. 

 

Meski prank merupakan salah satu jenis lelucon yang dianggap menghibur, tetapi tidak jarang pihak yang menjadi objek prank tersebut mengalami kerugian, merasa malu, kebingungan hingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan berakibat menjadi suatu permasalah hukum.

 

Baca juga : Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Menurut UU TPKS

 

Pasal 310 KUHP berbubyi “barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

 

R.Soesilo [1]dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan Pasal 310 KUHP menerangkan bahwa “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang biasanya merasa “malu”, “kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

 

Apabila prank tersebut dilakukan dengan cara merekam tanpa sepengetahuan korban, kemudian diupload atau diunggah ke media socsal sehingga banyak orang yang mengetahui dan menimbulkan kerugian atau ketidaknyamanan terhadap korban dapat dikenakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi :

 

“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribrusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penginaan dan/atau pencemaran nama baik”

 

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (3) :

 

“setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

 

 

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Referensi :

[1] R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea Jakarta 1985

Admin LR

10 Januari 2023

Tindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP

Penganiayaan dalam KUHP secara umum diartikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh yang dapat menimbulkan rasa sakit atau luka pada badan atau anggota badan orang lain dengan cara melawan hukum.

 

Dalam KBBI penganiayaan diartikan sebagai perlakuan sewenang-sewenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya) yang dilakukan dengan sengaja terhadap seseorang sehingga mengakibatkan cacat badan atau kematian.

 

Pasal 90 KUHP menjelaskan kategori luka sebagai berikut :

  1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
  2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
  3. Kehilangan satu pancaindra;
  4. Mendapat cacat berat;
  5. Menderita sakit lumpuh;
  6. Terganggungnya daya pikir selama empat minggu lebih;
  7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempua.

 

Baca Juga : Sanksi Terhadap Penganiayaan Hewan

 

Jenis-Jenis Penganiayaan

1.  Penaganiayaan Biasa 

Penganiayaan Biasa tertuang dalam Pasal 351 KUHP, yaitu hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Kategori penganiayaan biasa sebagai berikut :

  1. Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan  luka berat maupun kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama 2 tahun 8 bulan atau denda empat ribu lima ratus rupiah.
  2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
  3. Penganiayaan mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara dan selama-lamanya 7 tahun
  4. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

 

2. Penganiayaan Ringan

Diatur dalam Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan berupa bukan penganiayaan berencana, bukan penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu/bapak/anak/istri, pegawai yang bertugas, memasukan bahan berbahaya bagi nyawa, serta tidak menimbulkan penyakit maupun halangan untuk menjalankan pekerjaan, dan pencaharian.

 

Penganiayaan ringan diancam maksimum hukuman penjara 3 bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan pasal 353 dan 356 KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan.

 

3. Penganiayaan Berencana

Ada tiga macam bentuk penganiayaan berencana yang dirumuskan dalam 353 KUHP :

 

  • Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum penjara paling lama 4 tahun;
  • Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun; serta
  • Penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang dpat dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun

Seseorang yang melakukan penganiayaan berencana melakukannya dengan kehendak dan suasana batin yang tenang.

 

4. Penganiayaan Berat

Pasal 354 KUHP “barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara 8 tahun

J

ika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

 

5. Penganiayaan Berat Berencana

Penganiayaan berat berencana merupakan gabungan dari Pasal 354 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat dan Pasal 353 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan berencana. Dalam pidan aini harus memenuhi unsur penganiayaan berat maupun penganiayaan berencana.

 

6. Penganiayaan Terhadap orang

Pidan aini ditentukan dalam Pasal 351, 353,354 dan 355 KUHP dan dapat ditambah dengan sepertiga :

 

  1. Bagi yang melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah atau istri atau anaknya.
  2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat Ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

 

 

Sumer Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Admin LR

09 Januari 2023

Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Menurut UU TPKS

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

 

Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara:

  1. verbal,
  2. nonfisik,
  3. fisik, dan
  4. daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

akibat dari perkembangan teknologi informasi meberikan dampak yang serius terhadap kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga dapat berbasis elektronik.

 

Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta setidaknya dalam kurun 4 tahun terakhir dari 2018-2021, telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis online (KSBO). SAFEnet sendiri mendokumentasikan 1.357 aduan kasus KBGO dari 2019-2021. Catatan ini tak berbeda jauh dari Komnas Perempuan yang mencatat 2.625 kasus KBGO dari tahun 2017-2020, yang selalu menunjukkan peningkatan jumah aduan dari tahun ke tahun. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tahun 2018-2020 melaporkan ada sebanyak 679 kasus kekerasan seksual berbasis online terhadap anak-anak dengan mayoritas korbannya anak perempuan.

 

Baca Juga : Mengenal Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS

 

Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual setiap orang yang tanpa hak :

 

  1. Melakukan perekeman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual diluar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar tangkapan layar;
  2. Mentransmisikan informasi dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual diluar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau
  3. Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan system elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual

Dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penajara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Selanjutnya Pasal 14 ayat (2) dalam hal perbuatan sebagaimana pada ayat (1) dilakukan dengan maskud :

 

  1. Untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa atau 
  2. Menyesatkan dan/atau memperdaya, supaya seseorang melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Tindak pidana sebagaimana dijelaskan diatas merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas. Walaupun korban anak atau penyandang disabilitas tersebut mempunyai kehendak atau persetujuan korban tidak menghapuskan tuntutan pidana.

 

 

Sumber Hukum :

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasa Seksual

 

Referensi :

awasKBGO.go.id

 

Admin LR

06 Januari 2023

Mengenal Unsur-Unsur yang Tertuang dalam Kontrak

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Kontrak atau perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu: Kesepakatan, Cakap Hukum; Hal tertentu’ dan sebab yang halal. Namun dalam kontrak atau perjanjian pun terdapat  hal yang pokok / esensial di dalam suatu kontrak, Bahkan terdapat unsur lainnya yang terdapat di dalam suatu kontrak yang perlu diperhatikan.

 

Di dalam suatu kontrak dikenal dengan 3 (tiga) unsur, yaitu Unsur Esensiali, Unsur Naturalia, dan Unsur Aksidentalia.

 

Baca juga artikel terkait: Apakah Perjanjian Sah Tanpa Dibubuhi Materai? Begini Penjelasan Hukumnya

 

Unsur Esensiali

Unsur esensiali ini di dalam suatu kontrak haruslah ada karena unsur ini adalah unsur yang pokok, karena apabila unsur esensiali di dalam kontrak ini tidak ada maka kontrak tersebut tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan dalam bukunya Ahmadi Miru dengan judul “Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak” menjelaskan bahwa tanpa adanya unsur esensiali ini suatu kontrak tidak ada.[1] Sebagai contoh, dalam kontrak jual-beli tentunya harus ada kesepakatan terkait dengan barang dan harga barang, tanpanya tentu kontrak akan mengakibatkan batal demi hukum.[2] Hal tersebut akan merujuk kembali kepada Pasal 1320 KUHPerdata[3] yang mana salah satu syarat sahnya perjanjian adalah dengan adanya “Hal tertentu” dan tanpa adanya syarat tersebut (syarat objek) maka perjanjian mengakibatkan batal demi hukum. Dengan begitu tanpa adanya barang dan harga barang yang disepakati dalam kontrak jual-beli maka sudah barang tentu hal itu berarti tidak ada “hal tertentu” yang diperjanjian dalam kontrak tersebut, sehingga hal itu mengakibatkan kontrak tersebut batal demi hukum.

 

Baca juga artikel terkait: Memahami Konsep Dasar Hukum Perjanjian

 

Unsur Naturalia

Unsur Naturalia merupakan unsur kontrak yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang sudah mengaturnya (murni). Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.[4] Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi pada barang dagangan, secara otomatis berlaku ketentuan KUHPerdata (Pasal 1508/Pasal 1509 KUHPerdata) bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersebunyi tersebut.[5]

 

Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsru yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Unsur aksidentalia juga merupakan unsur pelengkap dalam suatu kontrak atau perjanjian. Bahkan menurut Kartini Muljadi dan Gunawan, unsur ini bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.[6] Sebagai contoh, seperti batas waktu pembayaran suatu prestasi yang dibunyikan dalam kontrak, apabila debitur lalai membayar utangnya, maka dikenakan denda sebesar sekian persen setiap keterlambatannya. Demikian pula klausul-klasusul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur esensial dalam kontrak tersebut.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

Baca juga artikel terkait lainnya: Mengenal Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian

 

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).


Referensi;

[1] Ahmadi Miru. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Depok: Rajawali Pers, 2020.

[2] Ibid, hal. 31.

[3] Pasal 1320 KUHPerdata.

[4] Ibid, hal. 31.

[5] Pasal 1508/Pasal 1509 KUHPerdata.

[6] Kartini Muljadi dan Gunawan. Perikatan yang Lahir dari PerjanjianJakarta: Raja Grafindo Persada, 2022.

Admin RA

05 Januari 2023

Bagaimana Konsep Batasan Usia Nikah Menurut Pandangan Hukum Islam?

Penulis: Fathonah - Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Editor  : Ryan Abdul Muhit 

 

Lahirnya Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terjadi perubahan yang fundamental terkait substansi hukum (materi) yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) yakni “penyamaan batasan umur pernikahan antara laki-laki dan wanita yaitu 19 tahun”. Sebagaimana dalam penjelasan Undang-Undang Perkawinan terbaru ini bahwa “batasan umur tersebut dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan agar dapat merealisasikan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas”.

 

Tujuan dengan adanya batasan umur perkawinan bagi perempuan dalam Undang-Undang ini adalah untuk mengurangi terhadap resiko pada kematian ibu dan anak serta menghambat laju kelahiran. Di samping juga terpenuhinya hak untuk melangsungkan hidup, tumbuh dan berkembangnya anak termasuk pendampingan orang tua dan memberikan akses bagi anak untuk memperoleh pendidikan yang layak sampai perguruan tinggi. Ini artinya, bahwa tujuan sebagaimana yang ditegaskan dalam “Undang-Undang No 16 Tahun 2019” tersebut merupakan upaya untuk mengangkat harkat dan martabat wanita, mengakhiri ketidakadilan, dan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Pengaturan batasan umur perkawinan dengan segala tujuan yang positif tersebut hakikatnya adalah memberikan jaminan keadilan, kepastian, dan kemanfatan dari tujuan hukum itu diciptakan.

 

Baca juga artikel terkait: Perbedaan Prinsipil Kesepakatan Perkawinan dengan Hukum Perjanjian

 

Melihat tujuan kebijakan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, secara filosofis dapat dikatakan sejalan dengan substansi hukum Islam (maqashid syariah) yaitu menciptakan kebaikan (kemaslahatan) sosial kepada manusia di masa sekarang dan masa depan. Meskipun dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan pasti mengenai ukuran batasan umur yang ideal dalam perkawinan karena itu bersifat ijtihadiyah. Namun hal ini dapat dimengerti bahwa sesungguhnya Islam tidak membolehkan perkawinan usia anak sehingga melahirkan ketidaksetaraan dan diskriminasi. Bahkan menurut Imam Asy-Syakukani dalam wablul Ghamam ‘alaa Syifaa’il ‘Awaam menyatakan bahwa perkawinan usia anak yang tidak melahirkan kebaikan harus dibatalkan dan lembaga yang berwenang juga berhak membatalkan perkawinan tersebut, anak yang terjebak dalam perkawinan dapat memutuskan perkawinan baik pada saat masih usia anak atau sudah dewasa. 

 

Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah (yang saat itu baru berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad SAW yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Surat al-Thalaq ayat 4.

 

Baca juga artikel terkait: Akibat Hukum Suami Tidak Memberikan Nafkah Lahir dan Batin Kepada Istri

 

Salah satu Hadis juga telah disebutkan tentang usia pernikahan, yang pernah dikatakan oleh Ibnu Masud, yang artinya: "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai ba-ah, maka hendaklah ia menikah, dan barang siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.” (H.R. Al-Bukhari)

 

Hadis yang telah disebutkan terdapat kata syabab yang mana kata tersebut bermakna pemuda. Sehingga pada umumnya masa aqil baligh dialami seseorang pada rentang usia 14- 17 tahun, namun generasi yang terlahir pada era sekarang banyak yang telah memiliki kemasakan seksual namun belum memiliki kedewasaan dalam berfikir.

 

Syarat baligh menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi menurut madzhab tertentu. Laki-laki dan perempuan harus memenuhi aqil baligh untuk dapat menikah menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik. dan tidak adanya syarat aqil baligh yang dimiliki menurut Imam Hanafi. Di aspek berikutnya Imam Hanafi mempunyai ketentuan hak ijbar dalam pernikahan. Usia 19 tahun menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai menurut undang undang di Indonesia. Walaupun pernikahan merupakan hubungan pribadi bagi seseorang. pemerintah berhak mengendalikan penduduk dan stabilitas masyarakat.

 

 

Sumber bacaan:

Dariyo, A. (2008). Psikologi Perkembangan Usia Dewasa Muda. Jakarta: Gresindo.

Kobar, m. (2021, agustus 01). Retrieved from dinas kependudukan dan pendudukan sipil kotawaringin barat : http://disdukcapil.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/vw-uu-perkawinan-diteken-usia-minimal-menikah-19-tahun

Kementrian Agama RI. (2018). Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta.

Manan, A. (2006). Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Nasional, D. P. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Yopani Selia Almahisa, A. A. (2021). Pernikahan Dini Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan. JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, 29.

Admin RA

03 Januari 2023

Jenis-Jenis Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana

Putusan hakim merupakan hasil dari suatu proses persidangan yang menentukan nasib seorang terdakwa, apakah ia telah terbukti melakukan suatu tindak pidana dan atau tidak, serta menentukan berat atau ringannya hukuman yang harus dijalani apabila terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pidana.

 

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat 3 (tiga) jenis putusan, yaitu putusan yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan memberikan hukuman kepada terdakwa, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

 

Putusan Pemidanaan

 

Pasal 194 ayat (1) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

 

Penjatuhan pidana sesuai dengan unsur pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepadanya. setelah pembacaan putusan atas perkaranya, terdakwa mempunyai hak yang akan diberitahukan oleh Hakim ketua sidang yang menangani perkara tersebut.

 

Baca juga : Alasan Penghapusan Pidana Menurut KUHP

 

Dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP menyebutkan “segera setelah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa apa yang menjadi haknya, yaitu :

  1. Segera menerima atau segera menolak putusan.
  2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.
  3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.
  4. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan.
  5. Hak mencabut pernyataan berkenaan dengan hak menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini

 

Putusan Bebas dari Segala Dakwaan

 

Pasal 191 ayat (1) KUHAP memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan Putusan bebas adalah “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

 

Secara yuridis, seorang terdakwa diputus bebas apabila majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut menilai :

  1. Tidak memenuhi atas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya pembuktian yang diperoleh selama proses persidangan tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa melakukan kesalahan atau perbuatan pidana.
  2. Tidak memenuhi asas pembuktian. Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa agar membuktikan kesalahan terdakwa maka sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum

 

Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

 

Pada pasal tersebut dapat diartikan bahwa dakwaan yang dilakukan penuntut umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman karena perbuatan yang dilakukannya bukan merupakan sebuah tindak pidana dan tidak termasuk kedalam yurisdiksi hukum pidana.

 

Misalnya perbuatan yang dilakukan merupakan yurisdiksi hukum perdata, hukum dagang, atau hukum tata usaha Negara.

 

Perbedaan Akibat Hukum atas Putusan Bebas dan Putusa Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum

 

Putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum sama-sama memberikan akibat hukum yang menjadikan terdakwa tidak dapat dipidana. Akan tetapi, putusan bebas sama sekali tidak dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

 

Namun berbeda terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang masih dapat dilakukan adanya upaya hukum kasasi.

 

Hal tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 67 KUHAP yang menyatakan bahwa :

 

“terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan pengadilan dalam acara cepat”

 

Kemudian berdasarkan pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa :

 

“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi terhadap Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.

 

Dapat disimpulkan bahwa putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum memiliki perbedaan terhadap akibat hukum yang ditimbulkan.

 

Putusan bebas tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi, tetapi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum tetap dapat dilakukan kasasi.

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Admin LR

28 Desember 2022

Alasan Penghapusan Pidana menurut KUHP

KUHP Indonesia tidak terlepas dari pengaruh aliran-aliran hukum pidana, terutama aliran klasik dan aliran neo-klasik.

 

Aliran neo-klasik sendiri dalam rangka melakukan pencegahan kejahatan ataupun dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan sudah mengarah kepada berbagai pertimbangan-pertimbangan.

Seperti keadaan dari dalam diri pelaku kejahatan dilihat secara kesehatan ataupun mental, maupun pengaruh lingkungan yang dapat mempengaruhi orang untuk melakukan suatu tindak kejahatan.

 

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB III Buku Pertama terdapat alasan-alasan pengahapusan pidana (Strafuitsluitings Gronden). Akan tetapi dalam KUHP tersebut tidak memberikan definisi secara rinci tentang pengahpusan pidana tersebut.

 

H.M Rasyid dan Fahmi Ragib, alasan pengahpusan pidana (Strafuitsluitings Gronden), adalah hal-hal, keadaan-keadaan, dan masalah-masalah yang mengakibatkan bahwa bahwa seseroang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tidak dipidana[1]

 

Baca juga : Mekanisme Penangkapan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 

Adapun alasan penghapusan pidana didasarkan pada dua alasan, yaitu :

  1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut. (unsur subjektif)
  2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar diri orang tersebut. (unsur objektif)

Macam-Macam Alasan Penghapusan Pidana

 

Merujuk dari sumbernya, alasan penghapusan pidana berasal dari undang-undang dan diluar undang-undang.

 

Alasan penghapusan pidana berdasarkan undang-undang terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) umum dan berlaku terhadap semua rumusan delik, dan (2) khusus, tercantum dalam Pasal tertentu dan yang berlaku untuk rumusan-rumusan delik itu saja.[2]

 

Penyebab tidak dipidananya pelaku kejahatan didasari atas dua hal, yaitu :

 

1.  Dasar pemaaf, yaitu bersifat subjektif dan melekat pada diri seseorang, mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan melakukan perbuatan pidana.

 

Yang termasuk dasar pemaaf :

  1. Ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
  2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
  3. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat (2) KUHP).

 

2. Dasar Pembenar, yaitu bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar sikap batin sipelaku.

 

Yang termasuk dasar pembenar, yaitu :

  1. Adanya daya paksa (Pasal 48 KUHP)
  2. Adanya pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
  3. Sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP) 
  4. Menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 

Referensi :

[1] Ishaq, Hukum Pidana, (Depok : Rajawali Pers, 2022), hlm. 109

[2] Ibid, hlm 110

Admin LR

27 Desember 2022

Perbedaan Mendasar Hukum Perdata dengan Hukum Publik

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Hukum dilihat dari isi atau materi, hukum dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu hukum perdata dan publik. 

 

Hukum publik secara sederhananya adalah hukum yang mengatur antara warga dan negara serta kepentingan umum, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antar orang terkait dengan kepentingan perorangan.

 

Baca artikel terkait: Istilah dan Definisi Hukum Perdata

 

Menurut  ahli hukum di Indonesia yaitu C.S.T. Kansil, [1] mendefinisikan terkait dengan hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan warga negaranya. Sedangkan C.S.T. Kansil mendefinisikan terkait dengan hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan.

 

Berdasarkan hal tersebut di atas, tentunya secara sederhana dapat dipahami bahwa hukum public cenderung lebih kepada kepentingan umum, sedangkan hukum privat lebih cenderung kepada kepentingan perorangan/individu.

 

Baca artikel terkait: Sumber Hukum Perdata di Indonesia

 

Hukum Publik dan Hukum Privat keduanya memiliki perbedaannya, perbedaan yang mendasar dalam buku berjudul Hukum Perdata Mengenai Orang dan Kebendaan yang ditulis Prof. I Ketut Oka Setiawanantara, bahwa perbedaan hukum perdata dengan hukum publik yang dapat dipahami, antara lain:

  1. Hukum Perdata mengatur hubungan hukum individu yang satu dengan individu yang lain dalam suatu masyarakat, sedangkan Hukum Publik mengatur hubungan hukum antar warga Negara dalam suatu Negara.
  2. Hukum perdata para pihak umumnya adalah individu atau perorangan, meskipun dapat pula penguasa menjadi pihak dalam hal tertentu, sedangkan Hukum Publik salah satu pihaknya adalah penguasa.
  3. Hukum perdata bertujuan untuk melindungi kepentingan perorangan, meskipun dalam perkembangannya melindungi kepentingan umum, sedangkan tujuan Hukum Publik untuk melindungi kepentingan umum.
  4. Peraturan-peraturan di dalam Hukum Publik sifatnya memaksa (dwingendrecht), sedangkan peraturan-peraturan di dalam Hukum Perdata umumnya bersifat melengkapi dan mengatur, meskipun ada juga sifatnya memaksa.[2]

Di atas merupakan perbedaan mendasar antara hukum perdata dan hukum publik, yang mana artinya perbedaan lainnya yang lebih kompleks masih ada.

 

Demikian semoga bermanfaat.

 

Baca artikel terbaru lainnya:


Sumber Referensi:

[1] https://www.hukumonline.com/berita/a/perbedaan-hukum-publik-dan-hukum-privat-lt6177da083c991/?page=1

[2] I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perdata Mengenai Orang dan Kebendaan .(Jakarta: FH Utama Jakarta, 2011), hlm. 4.

Admin RA

22 Desember 2022

Pertanggungjawaban Hukum Dalam Praktik Arisan Online

Arisan merupakan kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya;

 

pada zaman dulu arisan biasanya dilakukan secara konvensional dengan melakukan tatap muka secara langsung antar anggota dan pengelola (owner). akibat perkembangan kemajuan teknologi informasi, arisan pun dilakukan secara online melalui berbagai platform sosial media.

 

Perjanjian kesepakatan arisan biasanya tidak dituangkan kedalam suatu surat perjanjian secara tertulis, hanya berdasarkan kata “sepakat” yang diucapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

 

Jika dihubungkan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah suatu perjanjian, perjanjian harus memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu;
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Sehingga untuk mengakomodir ketentuan arisan berbasis online berlaku ketentuan Pasal 1338 yang mengatakan bahwa : “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

 

Baca juga : Apakah Perjanjian Tidak Sah Tanpa Dibubuhi Materai? Begini Penjelasan Hukumnya!

 

Dalam hukum perdata, apabila ada pihak yang tidak melakukannya kewajibannya (ingkar janji/wanprestasi) yaitu para pihak yang telah bersepakat untuk ikut dalam kegiatan arisan tersebut maka dapat dilakukan terlebih dahulu somasi (teguran).

 

Bentuk-bentuk ingkar janji/wanprestasi tersebut biasanya terjadi dalam hal :

  1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
  2.  Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
  3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan;
  4. Melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Namun apabila somasi (teguran) tersebut tidak diindahkan oleh pihak yang telah melakukan ingkar janji/wanprestasi, maka anda dapat menuntut penggantian biaya kerugian dan bunga sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata, berbunyi :

 

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan ."

 

Selanjutnya dalam perspektif hukum pidana, apabila arisan tersebut merupakan arisan fiktif yang merupakan tindak penipuan berkedok arisan, maka dapat dikenakan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

 

Pasal 378 KUHP : “barang siapa dengan  maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

 

Pasal 372 KUHP : “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau Sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kehajatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.”

 

Penipuan arisan online termasuk dalam Cybercrime berdasarkan jenis aktifitas yaitu Illegal Contens. Illegal Contens adalah jenis kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

 

Penipuan arisan online masuk kedalam Illegal Contens karena data atau informasi yang diberikan merupakan informasi yang tidak benar, melawan hukum serta menggunakan web sebagai sarana kejahatan.[1]

 

Tindak pidana penipuan melalui media elektronik yaitu salah satunya arisan online diatur di dalam pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: 

 

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” 

 

Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) tersebut, unsur-unsur penipuan menurut Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ialah: 

  1. Setiap Orang; 
  2. Dengan sengaja dan tanpa hak;
  3. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan;
  4. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik;

Sedangkan ancaman pidana terhadap pelaku diatur didalam Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” 

 

Contoh Kasus Penipuan Arisan Online

 

Contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia yaitu kasus dengan terdakwa Mei Wulan Anggraini yang terjadi di Surabaya pada tahun 2015.[2] Ia menggunakan media sosial Facebook sebagai sarana dalam melakukan penipuan arisan online. Ia menjanjikan modal yang aman 100%, profit atau keuntungan besar, no zonk dan no tipu-tipu kepada para membernya. Namun pada kenyataannya, Ia terbukti telah sengaja membuat grup akun facebook dengan nama Grup Gerobax Michan Comumunity (GMC) dan Grup Big Owner GMC yang menawarkan investasi dan arisan online yang tidak memiliki perijinan resmi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal serta ia menggunakan sebagian dana modal para membernya digunakan untuk trading tanpa sepengetahuan membernya. Oleh sebab itu, Hakim memutuskan bahwa Terdakwa Mei Wulan Anggraini telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”. Terdakwa Mei Wulan Anggraini di jatuhi pidana Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perbuhan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transasksi Elektronik 


Referensi:

[1] Priskila Askahlia dan Diana Lukitasari, Pertanggungjawaban Pidana Penipuan Arisan Online DItinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Recidive Vol. 3 No. 2 2014, hlm. 226

[2] Ibid

Admin LR

22 Desember 2022

Sistematika Hukum Perdata Indonesia dalam KUHPerdata

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Hukum perdata di Indonesia pada pembahasan sebelumnya memiliki beberapa sumber hukum, namun yang sangat umum dan mendasar adalah KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek).

 

Baca artikel terkait: Sumber Hukum Perdata di Indonesia

 

Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu (1) hukum perorangan, (2) hukum keluarga, (3) hukum harta kekayaan, dan (4) hukum waris.[1]

 

Punya Masalah Hukum? Konsultasikan di SINI, KLIK sekarang

 

Sedangkan berdasarkan sistematika yang ada di dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), hukum perdata terdiri atas 4 (empat) buku, yaitu:

  1. Buku I tentang Orang (Van Personen), pada bab ini memuat hukum tentang perorangan dan hukum keluarga;
  2. Buku II tentang Benda (Van Zaken), pada bab ini memuat hukum benda dan hukum waris;
  3. Buku III tentang Perikatan (Van Verbintennissen), pada bab ini memuat hukum harta kekayaan yang berkenan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
  4. Buku IV tentang Pembuktian dan Kedaluarsa (Van Bewis en Verjaring), pada bab ini memuat perihal alat-alat pembuktiandan akibat-akibat lewat terhadap hubungan-hubungan hukum.[2]

Keempat Buku tersebut (Buku I, II, III, IV) yang tertuang dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), jika dilihat dari segi isi masing-masing Buku tersebut, maka substansi dari KUHPerdata terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

  1. Buku I, II, dan III berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil; dan
  2. Buku IV, berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata formiil.[3]

Demikian semoga bermanfaat.

 

Baca Artikel Lainnya Terbaru:

Sumber Referensi:

[1] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 16-17.

[2] Ibid.

[3] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet-1, hlm. 33.

Admin RA

22 Desember 2022

Penafsiran Ekstensif dan Analogi Dalam Hukum Pidana

Salah satu isu yang menjadi perdebatan para sarjana hukum pidana adalah penggunaan analogi dalam menentukan suatu tindak pidana pada ketentuan KUHP .

 

Banyak sarjana hukum yang menentang penggunaan analogi untuk menentukan suatu tindak pidana karena dianggap melanggar asas legalitas dalam hukum pidana.

 

Dalam KUHP terbaru sendiri pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.  Penggunaan analogi tersebut merupakan hal yang berbenturan dengan asas legalitas sebagaimana merupakan prinsip dalam hukum pidana. 

 

Menurut Prof. Simmons mengatakan bahwa: “Asas yang terkandung dalam pasal 1 KUHP itu melarang setiap penerapan hukum secara analogi dalam hukum pidana, oleh karena penerapan hukum semacam itu dapat membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu tindak pidana kemudian menjadi suatu tindak pidana”.

 

Selanjutnya menurut Prof. Pompe berpendapat bahwa penggunaan penafsiran secara analogi itu hanya dapat dibenarkan, yakni apabila memang benar bahwa dalam undang-undang itu terdapat suatu kekosongan atau leemte, yang disebabkan misalnya karena pembentuk undang-undang lupa mengatur suatu perbuatan tertentu atau tidak menyadari kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa dikemudian hari dan merumuskan ketentuan-ketentuan pidana yang ada secara demikian sempit sehingga perbuatan atau peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan.

 

Baca juga : Perbedaan Mendasar KUHP Lama VS KUHP Baru

 

Penafsiran Ekstensif

 

Penafsiran Ekstensif pada hakikatnya memberikan perluasan makna pada bunyi teks dalam undang-undang berdasarkan kondisi dan situasi yang actual sehingga aturan tersebut dapat diterapkan untuk memeriksa dan mengadili sebuah peristiwa secara konkrit.

 

Menurut van Apeldoorn fungsi penafsiran dalam hukum pidana menjelaskan hakikat dari kegiatan penafsiran itu sebagai suatu usaha mencari kehendak pembuat undang-undang yang pernyataannya kurang jelas.

 

Fungsi dari penafsiran pada dasarnya yaitu memaknai kaidah atau asas hukum, menghubungkan suatu fakta hukum dengan kaidah hukum, menjamin penindakan atau penerapan hukum dapat di lakukan secara tepat, benar dan adil dan mempertemukan kaidah hukum dengan perubahanperubahan sosial agar kaidah hukum tetap aktual mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan perubahan sosial.[1]

 

Analogi

 

Analogi memberikan perluasan makna yang tidak lagi berpaku pada bunyi teks undang-undang melainkan berpaku pada peristiwa hukum yang secara substantial memiliki unsur esensial yang sama[2]

 

Menurut Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu Gesetz Analogi, merupakan analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak ada dalam hukum pidana. Recht analogi merupakan analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.[3]

 

Analogi merupakan penerapan suatu aturan hukum terhadap suatu peristiwa yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum, baik yang diakibatkan karena adanya perubahan sosial maupun adanya keterbatasan peraturan, sehingga tidak menceridai rasa ketidakadilan dalam pengambilan suatu putusan.

 

Baik analogi maupun penafsiran ekstensif dasarnya adalah sama, yaitu upaya untuk menemukan norma yang lebih abstrak dari norma yang ada (mengabstraksi), sehingga memperluas aturan yang ada itu.

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Referensi :

[1] Lucky Endrawati, Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana sebagai Metode Penafsiran Hukum Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Dengan Pendekatan Aliran Progresif, Hermeneutika, Vol.2, 2018, hlm. 85.  

[2] Pradikta Andi Alvat, Perbedaan Penafsiran Ekstensif dan Analogi Dalam Penemuan Hukum, ForumKeadilanbabel.com

[3] Ibid, hlm, 86

Admin LR

21 Desember 2022

Apa Itu Perbuatan Melawan Hukum (Tort of Law)?

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Secara umum Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam Pasal 1365 sampai  Pasal 1380.[1] Meskipun aturan mengenai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam KUHPerdata hanya 15 Pasal, namun pada praktik dan kenyataannya menunjukan bahwa gugatan perdata di Pengadilan didominasi oleh gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) disamping gugatan Wanprestasi.

 

Lantas Apa sih Perbuatan Melawan Hukum (PMH) itu?

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dikenal dalam istilah belanda yaitu onrechtmatige atau dalam bahasa inggris tort. Beberapa sarjana hukum ada yang menggunakan istilah “melawan” dalam menerjemahkan onrechtmatige daad. Wirjono Projodikoro, menterjemahkan kata onrechtmatige daad menjadi “perbuatan melanggar hukum” sementara M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan, menerjemahkannya menjadi "perbuatan melawan hukum".

 

Anda Punya Masalah Hukum? KLIK untuk Konsultasi

 

 

Dalam bukunya berjudul Hukum Perikatan (Law of Obligations)yang ditulis oleh Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., menjelaskan bahwa Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai “perbuatan melawan hukum” lebih tepat dibandingkan “perbuatan melanggar hukum”. Pertama, dalam kata "melawan" melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan dengan kata “melanggar”. Maksudnya adalah bahwa dalam kata “melawan” dapat mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata “melanggar” cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja.[2]

 

Baca juga artikel: Mengenal Konsep Dasar Hukum Tentang Orang (Perssonenrecht)

 

Melihat hal tersebut penulis sependapat karena kerugian yang ditimbulkan bukan hanya dikarenakan adanya kesengajaan saja namun juga disebabkan oleh kelalaian, selain itu jika merujuk pada Pasal yang sering digunakan dalam gugatan terkait dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.[3] Pasal tersebut secara sederhana menjelaskan bahwa setiap orang yang menimbulkan kerugian kepada orang lain maka wajib untuk mengganti kerugian tersebut. Berkaitan dengan kata “Melawan” yang mencakup perbuatan yang didasarkan baik secara sengaja maupun lalai, maka ketika orang yang menimbulkan kerugian kepada orang lain baik sengaja maupun lalai, maka wajib untuk mengganti kerugian tersebut.

 

Demikian semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).


Referensi:

[1] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

[2] Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 3.

[3] Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Admin RA

20 Desember 2022

Perbedaan Mendasar KUHP Lama VS KUHP Baru
KUHP LAMAKUHP BARU
Terdiri dari 3 (tiga) Buku : Ketentuan Umum, Kejahatan dan PelanggaranTerdiri dari 2 (dua) Buku : Ketentuan Umum dan Tindak Pidana
Perbedaan antara Kejahatan dan PelanggaranTidak ada perbedaan Kejahatan dan Pelanggaran
Penafsiran diserahkan pada hakim berdasarkan doktrin hukum pidanaPenafsiran analogi tidak diperbolehkan berdasarkan pasal 1 ayat (2)
Penentuan Locus Delicti (tempat terjadinya tindak pidana) & Locus Delicti (waktu terjadinya tindak pidana) diserahkan pada hakim berdasarkan doktrin hukum pidana

Tempat Tindak Pidana merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana

Waktu tindak pidana merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana

Pertanggungjawaban Pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault)

Pertanggung jawaban pidana yang ketat (strict liability) dan pertanggungjawaban pidana pengganti.

Pasal 39 “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual drajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan

Tidak dipisahkannya alasan pengahapus pidana (strafuitsluitingsgronden)

Memisahkan secara tegas adanya alasan pemaaf pada Pasal 37-47

Alasan pembenar pada Pasal 32-36

Mengatur alasan peringan pidanaMemperluas jenis alasan peringan pidana bagi pelaku dengan kualifikasi tertentu. Pasal 139-143
Mengatur alasan gugurnya kewenangan melakukan penuntutanAdanya perubahan pada alasan gugurnya kewenangan melakukan penuntutan. Pasal 152
Tidak mengatur delik adatDelik adat merupakan bagian dari tindak pidana, walaupun Tindakan yang dilakukan tidak diatur dalam KUHP. Pasal 2
Manusia sebagai subyek hukum (natural person)Manusia dan koorporasi sebagai subyek hukum pidana, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Pasal 48-54
tidak ada pidana kerja sosialPidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana paling banyak kategori II.
Jumlah pidana denda dimasukan kedalam rumusan pasal

Jumlah pidana denda tidak dirumuskan kedalam Pasal-Pasal tetapi dirumuskan kedalam kategori Pasal 79 : Pidana Denda paling banyak ditetapkan berdasarkan :

a.Kategori I       : Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

b.Kategori II     : Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

c.Kategori III    : Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

d.Kategori IV    : Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)

e.Kategori V     : Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

f.Kategor VI     : Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)

g.Kategori VI    : Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)

h.Kategori VIII : RP. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah)

Pidana mati sebagai pidana pokokPidana mati dirumuskan sebagai pidana “istimewa” yang pelaksanaannya dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun apabila terpidana “berkelakuan baik” maka pidana mati dapat dikonjungsi atau diubah menjadi tindak pidana penjara seumur hidup. Pasal 10

 

Admin LR

19 Desember 2022

Sekilas mengenai KUHP Baru

Sejarah Singkat Proses Rancangan KUHP

  • Sejak Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 yang menghasilkan desakan untuk membuat KUHP Nasional yang baru
  • Tahun 1970 kemudian melakukan perancangan. Tim perancang : Prof. Sudarto dan beberapa Guru Besar Hukum Pidana lain di Indonesia
  • Tahun 2004, tim baru dibentuk dibawah Prof. Muladi, S.H
  • 8 tahun kemudian, RKUHP tersebut baru diserahkan oleh Presiden SBY kepada DPR untuk dibahas pada tahun 2012
  • Tahun 2014-2019 draft RKUHP dalam pengambilan keputusan pertama. Dan timbul berbagai reaksi penolakan terhadap berbagai Pasal-Pasal yang bermasalah
  • Bulan September Tahun 2019 Presiden Jokowi menunda dan memerintahkan peninjauan kembali Pasal-Pasal yang bermasalah.
  • April 2020. DPR secara resmi melanjutkan pembahasan RKUHP yang kemudian ditargetkan rampung pada Tahun 2022.

Baca juga : Syarat dan Unsur Suatu Peristiwa Pidana

 

Urgensi Pembaharuan KUHP

  • KUHP sudah ketinggalan zaman, karena menggunakan aliran hukum pidana klasik yang mengutamakan pidana sebagai sarana balas dendam.
  • Belum adanya terjemahan resmi KUHP, sehingga terjemahan yang digunakan bersumber dari berbagai versi.
  • Berorientasi pada hukum pidana modern, yaitu : keadilan retributif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
  • Mengatasi over kapasitas lapas, sebab KUHP baru memuat alternatif pidana selain hukuman penjara, yakni pidana denda, pengawasan, dan kerja sosial.
  • Diharapkan adanya proses reintegrasi, masyarakat tidak lagi memandang narapidana sebagai orang tercela dan lain sebagainya. 

Misi Dalam Pembentukan KUHP

  • Dekolonisasi dalam bentuk “rekodifikasi” : menghilangkan pasal yang melekat dengan kolonialisme
  •  Demokratisasi hukum pidana : memberikan jaminan terhadap HAM seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan batasan tertentu.
  • Adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum 

Perluasan Jenis Pidana Dalam KUHP Baru

Pidana Pokok :

  1. Pidana  Penjara
  2. Pidana Tutupan
  3. Pidana Pengawasan
  4. Pidana Denda
  5. Pidana Kerja Sosial

Pidana Tambahan :

  1. Pencabutan hak tertentu
  2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan
  3. Pengumuman putusan hakim
  4. Pembayaran ganti rugi
  5. Pencabutan izin tertentu
  6. Pemenuhan hak dan kewajiban

Beberapa hal penting lain yang menjadi perkembangan baru dan diatur dalam UU KUHP ini diantaranya adalah :

a. penerapan asas legalitas materiil dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) 

b. doktrin ultimum remedium keadilan restoratif dan penerapan diversi

c. pergeseran menjadi aliran neo-klasik (memperhatikan faktor subyektif dan obyektif) 

d. perluasan subyek hukum pidana (termasuk Korporasi)

e. penerapan asas pertanggungjawaban mutlak dan pengganti

f. pengaturan jenis pidana pokok baru (pengawasan dan kerja sosial) dan Penerapan Pidana Mati Bersyarat

 

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 

referensi :

www.dpr.go.id

Admin LR

19 Desember 2022

Mekanisme Penangkapan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 1 ayat 8 KUHAP mendefinisikan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik  berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan/penuntutan atau peradilan dalam hal serta cara yang diatur dalam Undang-Undang.

 

Permulaan bukti yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana. Adapun tujuan dilakukannya penangkapan ialah guna membatasi ruang gerak seseorang agar tidak dapat bergerak bebas semaunya.

 

Baca juga : Kedudukan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 

Penangkapan yang dilakukan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, akan tetapi harus dilakukan kepada orang yang memang betul-betul melakukan suatu tindak pidana.

 

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) KUHAP  bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

 

Berbeda dengan hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tersangka dan juga barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.

 

Berkaitan dengan waktu penangkapan, Pasal 19 KUHAP berbunyi bahwa penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.

 

Ketentuan Pasal 19 KUHAP tersebut bertujuan agar penyidik sesegera mungkin melakukan pemeriksaan, sehingga atas pemeriksaan yang dilakukan dapat memperoleh hasil yang menentukan apakah 

penangkapan tersebut berlanjut pada proses penahanan.

 

Lain halnya apabila penangkapan dilakukan di daerah terpencil sehingga sangat jauh dari kedudukan penyidik dan tidak dimungkinkannya proses pemeriksaan selesai dalam waktu 1 (satu) hari.

 

Dalam kasus tersebut, diperlukan 2 (dua) surat peintah, yakni :

  1. Surat perintah dari penyidik kepada penyidik untuk membawa dan menghadapkan tersangka kepada penyidik;
  2. Surat perintah penangkapan yaitu surat penangkapan setelah tersangka sampai ditempat kedudukan penyidik, agar dapat disusul dengan pemeriksaan oleh penyidik sehingga dalam satu hari telah diperoleh hasil untuk menentukan tindakan lebih lanjut.

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

 

Dasar Hukum : 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Admin LR

16 Desember 2022

Badan Yudikatif di Indonesia

Oleh: Windan Jatnika - Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung

Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia berlaku suatu pembagian kekuasaan antar lembaga negara dengan kewenangan masing-masing yang berbeda. Sebagaimana konsep trias politika yang diperkenalkan oleh Montesquieu, pembagian kekuasaan yang dimaksud dibagi ke dalam tiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Urgensi dari penerapan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia adalah agar tidak ada bentuk dominasi kekuasaan yang dipegang oleh satu lembaga. Selain itu melalui sistem pembagian kekuasaan diharapkan ketiga lembaga negara tersebut dapat saling mengawasi berdasarkan prinsip kesejajaran dan independensi dalam menjalankan fungsi checks and balances

Mengenai pemegang kekuasaan yudikatif di Indonesia, akan dijelaskan secara singkat mulai dari pengertian, kedudukan, serta wewenang yang diberikan kepada lembaga yudikatif berdasarkan konstitusi. Menurut Uu Nurul Huda dalam bukunya Hukum Lembaga Negara (hlm. 83), kekuasaan lembaga yudikatif atau disebut juga kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Badan yudikatif di setiap negara pada umumnya bebas dari campur tangan eksekutif, sehingga dapat berfungsi dengan baik dalam menegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak asasi manusia.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka sesungguhnya badan yudikatif merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk mengadili setiap pelanggaran atau penyelewengan terhadap konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Lebih lanjut menurut Uu Nurul Huda proses mengadili yang dilakukan oleh badan yudikatif harus terbebas dari pengaruh lembaga negara lainnya baik dari eksekutif maupun legislatif. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sifat independensi tersebut diperlukan untuk menjaga martabat dan kewibawaan badan yudikatif sebagai pengawal konstitusi, penegak supremasi hukum.

Pasal 10 Declaration of Human Rights menyebutkan bahwa kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan dalam tiap-tiap negara sebagai sesuatu yang esensial. Dengan demikian keberadaan lembaga negara yang bersifat teknis yuridis di Indonesia diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang dirumuskan dalam Pancasila pada sila ke-5 yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.  

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Bab IX tentang kekuasaan kehakiman Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa badan yudikatif yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun mengenai kewenangan badan yudikatif berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca-amandemen adalah sebagai berikut:
 

  1. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. (Pasal 24A, ayat 1);
  2. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (Pasal 24B, ayat 1);
  3. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (Pasal 24C, ayat 1). 

Ketiga badan yudikatif yang disebutkan diatas dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya telah diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, diantaranya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Seiring dengan perkembangan dan pembaharuan dalam sistem hukum dan sistem ketatanegaraan, semua undang-undang tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan untuk menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan hukum yang terjadi.

Berdasarkan beberapa ketentuan yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang kewenangan dari badan yudikatif, maka penulis menyimpulkan bahwa telah jelaslah bahwa pembagian kekuasaan yang berlaku saat ini ditujukan agar terjadi keseimbangan dalam konteks saling mengawasi antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Badan Yudikatif oleh karenanya dapat melakukan koreksi atas suatu penyimpangan terhadap konstitusi bahkan memberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Admin RA

14 Desember 2022

Mengenal Konsep Dasar Hukum Tentang Orang (Personenrecht)

Hukum tentang orang atau dengan istilah Personenrecht berasal dari terjemahan Belanda atau Personal Law dari Inggris. [1] Hukum orang menurut Algra diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum mengenai keadaan dan wewenang seseorang.[2] Sedangkan menurut Salim H.S., mendefinisikan hukum orang sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subjek hukum dan wewenangnya, kecakapannya, domisili, dan catatan sipil.[3]

 

Punya permasalahan hukum? Klik Konsultasi Hukum Dokterlaw

 

Hukum tentang Orang dalam Burgerlijk Wetboek (BW) diatur dalam Buku I berjudul Van Person. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, menyatakan bahwa pemberian judul tersebut pada dasarnya kurang tepat dan lebih tepat berjudul “Personenen Familie Recht”. Dasar pemikiran tersebut melihat bahwa keberadaan seseorang tidak lepas dari keluarga, selain itu dalam Buku I tersebut diatur juga tentang hukum keluarga.[4]

 

Baca juga artikel: Sumber Hukum Perdata di Indonesia

 

Dalam hukum perkataan orang atau persoon berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban atau disebut pula sebagai subjek hukum.[5] Sebagaimana Pasal 1 BW yang berbunyi: “Menikmati hak-hak keperdataan tidaklah bergantung pada hak-hak kenegaraan.

 

Baca juga artikel: Istilah dan Definisi Hukum Perdata

 

Bunyi pasal tersebut mempunyai arti, bahwa semua orang baik yang alam/manusia (naturlijk persoon) maupun badan hukum (rechtpersoon) di dalam melaksanakan haknya adalah sama baik mengenai luasnya maupun kewenangannya.[6]

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 


Sumber bacaan: 

[1] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 39.

[2] Algra dan Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hlm. 19.

[3] Algra dan Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hlm. 19.

[4] Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 2.

[5] Lihat Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, hlm. 140-141. Lihat juga Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 19.

[6] Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 3.

Admin RA

06 Desember 2022

Kedudukan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Saksi merupakan seseorang yang mempunyai informasi terkait suatu peristiwa yang dapat memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ditangkap oleh alat indra mereka sendiri. 

 

Dalam kamus hukum, saksi diartikan sebagai orang yang mengalami, melihat, mendengar, merasakan suatu kejadian dalam perkara perdata ataupun pidana.[1]

 

Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pengertian tentang saksi dalam Pasal 1 ayat (1) berbunyi bahwa :

 

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Sidang Pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri

 

Baca juga : Syarat dan Unsur Suatu Peristiwa Pidana

 

Selanjutnya, Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.”

 

Saksi dikategorikan kedalam 4 (empat) jenis, yaitu :[2]

 

  1. Saksi yang memberatkan, adalah saksi yang dalam keterangannya memberatkan terdakwa yang diajukan oleh penuntut umum. Saksi korban juga termasuk dalam kategori saksi yang memberatkan.
  2. Saksi yang meringankan, merupakan saksi yang diajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum.
  3. Saksi mahkota, adalah istilah untuk tersangka atau terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana.
  4. Saksi alibi tidak diatur dalam KUHAP, namun dalam praktiknya saksi alibi disamakan dengan pengertian saksi meringankan.

Keterangan yang diberikan berdasarkan pengetahuan informasi yang di dengar dari orang lain dikenal dengan istilah testimonium de auditu.

 

Testimonium de auditu dapat di definisikan sebagai keterangan-keterangan tentang kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang di dengar, dilihat, atau di alami bukan oleh saksi sendiri, tetapi merupakan keterangan yang disampaikan oleh orang lain.

 

Jika testimonium de auditu berhubungan dan selaras dengan kenyataan yang didapat dari alat bukti lainnya, Testimonium de auditu perlu dipertimbangkan dalam rangka menambah keyakinan hakim.[3]


 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

 

Referensi :

[1] Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012 hlm. 56

[2] Hukumonline.com

[3] Eddy O.S Hiariej, op.cit, hlm. 60

Admin LR

04 Desember 2022

Syarat dan Unsur Suatu Peristiwa Pidana

Peristiwa pidana yang disebut dengan tindak pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.

 

Di dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana dan tindak pidana yang juga sering disebut delik.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. 

 

Suatu peristiwa hukum dapat dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu[1] :

 

  1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.
  2. Subjektif, yaitu suatu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang diri atau beberapa orang).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai peristiwa pidana ialah sebagai berikut :

 

  1. Harus ada suatu perbuatan. 
  2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.
  3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan .
  4. Harus berlawanan dengan hukum.
  5. Harus tersedia ancaman hukumannya.

Orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dilihat dalam beberapa macam, antara lain :[2]

 

1. Orang yang melakukan (dader plagen) 

Orang yang bertindak sendiri untuk melakukan tujuannya dalam suatu perbuatan tindak pidana.

 

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen) 

Untuk melakukan suatu tindak pidana diperlukan paling sedikit 2 (dua) orang, yaitu orang yang melakukan dan orang yang menyuruh melakukan, jadi bukan pihak pertama yang melakukan tindak pidana, akan tetapi dengan bantuan pihak lain yang merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

 

3. Orang yang turut melakukan (mede plagen) 

Yang artinya melakukan tindak pidana bersama-sama. Dalam hal ini diperlukan paling sedikit 2 (dua) orang untuk melakukan tindak pidana yairu dader plagen dan mede plagen.

 

4. Orang yang dengan memanfaatkan atau penyalahgunaan jabatan, memberi upah, perjanjian, memaksa seseorang, atau dengan sengaja membujuk orang/pihak lain untuk melakukan tindak pidana. 

 

 

Demikan, emoga bermanfaat.


Referensi :

[1] R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 175

[2] Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum Undip, Bandung, 1984, Hlm 37

Admin LR

02 Desember 2022

Sumber Hukum Perdata di Indonesia

Hukum yang berlaku di suatu negara tentunya memiliki sumber hukum tersendiri sehingga terbentuknya sebuah hukum. Sumber hukum dalam artian luas dapat dipahami sebagai asalnya hukum atau dimana “tempat” ditemukannya peraturan-peraturan yang berlaku.

 

Dalam ilmu hukum, sumber hukum dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pertama, sumber pengenalan hukum (kenbron van bet recht), yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat diketemukannya hukum. Kedua, sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum (welbron van het recht), yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal sumber nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar aturan hukum.[1]

 

C.S.T Kansil mendefinisikan bahwa sumber hukum adalah segala upaya apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.[2]

 

Baca artikel terkait: Istilah dan Definisi Hukum Perdata

 

Sumber hukum perdata di Indonesia pada dasarnya meliputi sumber hukum materil dan formil. Sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum, yaitu tempat dimana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materil merupakan faktor yanf membantu dalam hal pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, keadaan geografis, penelitian ilmiah, perundangan internasional. Sedangkan sumber hukum formil, yaitu tempat memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku, misalnya UU, Yurisprudensi, Traktat, dan kebiasaan.[3]

 

Vollmar membagi sumber hukum perdata menjadi 2 (dua), yaitu sumber hukum perdata tertulis, yaitu KUHPerdata (BW), Traktat, dan Yurisprudensi, dan sumber hukum perdata tidak tertulis, yaitu kebiasaan.[4]

 

Baca juga artikel terkait: Mengenal Secara Umum Hukum Perdata di Indonesia

 

Sumber hukum perdata secara khusus yang menjadi sumber hukum perdata di Indonnesia tertulis, antara lain:

  1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), yang merupakan ketentuan-ketentuan umum pemerintahan Hindia-Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan Stbl. 1847 No. 23, tanggal 30 April 1847 yang terdiri 36 Pasal.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Werboek van Koopandel).
  4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tana beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
  7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
  8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS).
  9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).[5]

Demikian, semoga bermanfaat.


 

Sumber Referensi:

[1] Usep Ranawidjaya dalam Sumbodo Tikok,  Hukum Tata Negara, (Bandung: Eresca, tt), 51.

[2] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, 46.

[3] Lihat Algra dalam Salim HS., 9.

[4] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008), 15-18.

[5] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008), 15-18.

Admin RA

02 Desember 2022

Asas-Asas Dalam Hukum Pidana

Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan yang memiliki sanksi berupa penderitaan atau suatu nestapa bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.

 

Prof Moeljatno (Guru Besar Hukum Pidana FH UGM) menjelaskan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

 

  1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
  2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Asas-Asas Dalam Hukum Pidana 

 

1.  Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)

 

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas 

 

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstentif.
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

dalam asas Legalitas, mengandung tiga prinsip, yaitu :[1]

  • Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
  • Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  • Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dahulu)

Asas legalitas mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu[2] fungsi instrumental : tidaka ada perbuatan pidana yang tidak dituntut; dan fungsi melindungi : tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang.

 

Baca juga : Memahami Kembali Pasal-Pasal Krusial di Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP)

 

2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (No Punishment Without Fault)

 

Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan mengandung pengertian bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum pidana yang berlaku, tidak dapat dipidana oleh karena ketiadaan kesalahan dalam perbuatannya tersebut.

 

Asas ini termanifestasikam dalam pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa : “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”

 

3. Asas Teritorial 

 

Pasal 2 KUHP yang menyatakan “Ketentuan pidana dalam perundang-undang Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”

 

Asas territorial lebih menitikberatkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara, tidak mempermasahkan siapa pelakunya, baik itu WNI atau pun WNA.

 

Perluasan terhadap asas ini terdapat pada Pasal 3 KUHP menyatakan “ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

 

Adapun tujuan dari pasal 3 tersebut adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, yang tidak  termasuk wilyah territorial suatu negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.

 

4. Asas Personalitas/Nasionalis Aktif 

 

Pasal 5 KUHP berbunyi, ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan diluar Indoensia. 

 

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan dalam pasal ini diletakkan prinsip Nationaliteit Aktief atau Personaliteit.

 

Warga Negara Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah hukum Indonesia, dapat dikenakan undang-undang pidana Indoneisa.

 

5. Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan

 

Menurut asas hukum pidana yang satu ini, berlakunya perundang undangan pidana didasarkan pada kepentingan hukum suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar negeri dengan tidak dipersoalkan kewarganegaraannya; apakah pelaku adalah warga negara atau orang asing.

 

Jika disederhanakan, pada intinya asas perlindungan menitikberatkan pada perlindungan unsur nasional terhadap siapapun dan di mana pun. Kehadiran asas perlindungan dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 4 KUHP dan diperluas dalam Pasal 8 KUHP.

 

6. Asas Universal

 

Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Maka, kalau ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara ini, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan siapa saja yang melakukannya dan dimana saja. 

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

 

 

Dasar Hukum :

Kitan Undang-Undang Hukum Pidana

 

Referensi :

[1] Siti Khoiriyah, Asas-Asas Hukum pidana (EBook), academia.edu

[2] Lukman Hakim, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Ajar Bagi Mahasiswa, (Sleman : CV Budi Utama), hlm. 18

 

Admin LR

30 November 2022

Penyitaan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 1 angka 16 KUHAP Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

 

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Pasal 38 KUHAP. penyitaan dilakukan atas izin dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat, namun apabila dalam keadaan mendesak, penyitaan dapat dilakukan terlebih dahulu yang selanjutnya melaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri untuk meminta persetujuan. 

 

Benda yang dapat dilakukan penyitaan adalah benda yang bersangkutan dengan tindak pidana guna kepentingan pembuktian pada tingkat penyidikan. Pasal 39 KUHAP ayat 1, yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

 

  1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau Sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau Sebagian dari tindak pidana.
  2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana. 
  3. Benda yang dipergunakan mengahalangi penyidikan tindak pidana.
  4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

Perbedaaan Penyitaan barang dan Perampasan Barang

 

Penyitaan : [1]

  1. dilakukan pada tahap penyidikan;
  2. harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri;
  3. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyitaan dapat dilakukan tanpa mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri.

Perampasan :

  1. dilakukan pasca adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
  2. dilakukan pasca adanya penetapan Pengadilan Negeri (khusus untuk perkara korupsi);
  3. hasil benda sitaan dinyatakan dirampas untuk negara.

Pasal 46 KUHAP menyatakan bahwa benda yang sudah tidak diperlukan lagi dalam proses penyidikan dan pengadilan, dapat dikembalikan kepada yang memilikinya. Kecuali benda yang telah diperintah oleh negara melalui putusan hakim untuk dimusnahkan, dirampas oleh negara, atau dirusak hingga tidak dapat digunakan lagi.

 

Sumber Hukum ;

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Referensi :

[1] Halohukum.com

Admin LR

29 November 2022

Memahami Kembali Pasal-Pasal Krusial di Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKHUP)

Dalam waktu dekat Pemerintahan Jokowi berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) dan hal ini setelah Komisi III DPR bersama pemerintah menyetujui pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tingkat I pada Kamis tanggal 14 November 2022 padahal secara umum semenjak isu RKHUP mencuat pada tahun 2019 mendapat penentangan keras dari masyarakat sipil berbagai daerah. Dan kehadiran Kembali Isu RKHUP di akhir 2022  menegaskan Kembali kesan ugal-ugalan dan tidak demokratis serta tidak terbukanya terkait draf rancangan RKHUP yang bakal di sahkan oleh Pemerintahan Jokowi dalam waktu dekat.
Berikut beberapa pasal Kontoversial RKHUP yang sejatinya bukan aspirasi Rakyat dikutip dari beberapa sumber.
1. Pasal penghinaan ke presiden
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 218 RKUHP. Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konsitusi dengan alasan warisan kolonial dan melanggar kesamaan di depan hukum. Selain itu, pasal penghinaan presiden-wakil presiden bakal menimbulkan konflik kepentingan. Sebab yang akan memproses hukum adalah kepolisian yang merupakan bawahan presiden.
2. Pasal penghinaan terhadap pemerintah
Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah diatur dalam Pasal 240 RKUHP. Rancangan aturan itu menyebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah yang berakibat kerusuhan. Ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara dan denda paling banyak kategori IV.
3. Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara
Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara pada Pasal 353 RKUHP dengan ancaman 1 tahun 6 bulan. Pasal 354 RKUHP lebih parah. Dia mengatakan pasal itu mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan dan lembaga negara melalui media elektronik.
4. Hukum yang hidup
Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat. Artinya, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah. Pasal ini dikhawatirkan akan memunculkan kesewenang-wenangan dan peraturan daerah yang diskriminatif.
5. Kumpul Kebo
Pasal RKUHP tentang kumpul kebo diatur dalam pasal 417 ayat 1. Pasal itu mengatur setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan penjara paling alam 1 tahun atau denda kategori II.
6. Hukuman mati
Pasal 67, 99, 100, dan 101 masih menerapkan hukuman mati. Pemerhati HAM menilai pasal ini perlu dihapus.
7. Demonstrasi
Mengenai unjuk rasa, diatur dalam Pasal 273 draf RKUHP. Pasal 273 menyebutkan pihak yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipidana penjara paling lama 1 tahun.
7 pasal tersebut menjadi pasal krusial yang mendapat penolakan dari masyarakat merupakan ancaman nyata terhadap amanat reformasi 1998 yakni kebebasan berpendapat.

Sumber :
Majalah Tempo
Draf RKHUP

 

Aof Ahmad Musyafa, S.H.

29 November 2022

Istilah dan Definisi Hukum Perdata

Hukum menurut isinya dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu hukum publik dan hukum privat/perdata. Hukum publik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan umum atau menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat/perdata adalah ketentuan -ketentuan yang mengatur hal-hal yang sifatnya keperdataan atau kepentingan pribadi. Adapun menurut Van Dunne,[1] hukum perdata adalah suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarga, hak milik, dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan.

 

Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan Jepang. Hukum perdata disebut juga dengan hukum sipil dan hukum privat.

 

Adapun menurut Subekti, perkataan “hukum perdata” mengandung dua istilah, yaitu pertama, hukum perdata dalam luas meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Termasuk dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua, hukum perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari “hukum dagang”.[2]

 

Baca juga artikel terkait: Mengenal Secara Umum Hukum Perdata di Indonesia

 

Definisi Hukum Perdata

Hukum perdata hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antara warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan lainnya.

 

Menurut H.F.A Vollmar hukum perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.[3]

 

Senada dengan H.F.A Vollmar, mengatakan:

“Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargan dan di dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak”.[4]

 

Definisi yang dikemukakakn oleh Vollmar dan Mertokusumo, merujuk kepada hukum perdata dari aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya. Perlindungan hukum berkaitan dengan perlindungan perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, sedangkan ruang lingkupnya mengatur hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat.

 

Pada konteks yang lebih kompleks, Salim HS., berpendapat bahwa hukum perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.

 

Melihat hal tersebut di atas, maka hukum perdata mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Adanya kaidah hukum (tertulis/tidak tertulis).
  2. Mengatur hubungan antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya.
  3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata, meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, dan sebagainya.[5]

Demikian semoga bermanfaat.

 


Sumber bacaan:

[1] Van Dunne dalam Salim HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), hlm. 5.

[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 9.

[3] H.F.A Vollmar dalam Salim HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), hlm. 5.

[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), hlm. 101.

[5] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008), hlm. 11.

Admin RA

29 November 2022

Hak Masyarakat Terdampak Bencana dalam Undang-Undang no 24 Tahun 2007

Secara garis besar Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia terdiri dari 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas perairannya terdiri dari laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman seluas 2,7 juta km atau 70% dari luas wilayah NKRI. Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia selain memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Dahuri dalam bukunya Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu menyatakan juga memiliki potensi bencana alam yang sangat tinggi Pantai Utara (pantura) dan pantai selatan (pansela) pulau Jawa yang memiliki potensi perikanan, minyak dan gas bumi serta bentang alam yang menarik juga memiliki potensi bencana alam antara lain, gempabumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, abrasi, akresi, intrusi air laut, dan angin kencang. Konsekuensi dari kekayaan alam dan ekologis mengandung ancaman bagi masyarakat Indonesia. 

Hal ini bisa di lihat dari rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejak 1 Januari hingga 19 Juni 2022 wilayah Indonesia menghadapi 1.855 kejadian bencana alam, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa, abrasi, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan. Selama kurun itu bencana alam paling banyak terjadi di Pulau Jawa dan yang terbaru Gempa dengan magnitudo 5,6 yang terjadi pada Senin, 21 November 2022 siang, terjadi di barat daya Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, telah menyebabkan kerusakan rumah dan bangunan di wilayah Cianjur.

Lalu bagaimana Pemerintahan Indonesia merespon situasi tersebut dalam Hukum positif yang berlaku ?

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat menyatakan dalam situs webnya bahwa pemerintahan Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Yang menjadi pedoman dalam penanggulangan bencana serta respon cepat dimana Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam  penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007 menegaskan bahwa Setiap orang berhak mendapatkan pelindungan   sosial    dan   rasa    aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana, mendapatkan pendidikan,  pelatihan,  dan  ketrampilan dalam penyelenggaraan  penanggulangan bencana, mendapatkan informasi secara  tertulis dan/atau  lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana, berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program    penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial, berpartisipasi dalam pengambilan  keputusan  terhadap kegiatan   penanggulangan   bencana   khususnya   yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya dan melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana. Selain itu setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, memperoleh  ganti  kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 mencakup tanggung jawab Pemerintah dari mulai mitigasi sebagaimana tertuang dalam pasal 6 pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan sebagai implementasi perlindungan masyarakat dari Bencana sampai kemudian berbicara pemulihan pasca bencana ysng dialokasikan oleh APBN serta ABPD yang menjadi hak masyarkat dan bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat dengan membentuk membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. 

Aof Ahmad Musyafa, S.H.

28 November 2022

Mengenal istilah-istilah dalam Pendampingan Hukum

Sebagai negara hukum sekaligus negara yang setia pada demokrasi, Indonesia  menegaskan prinsip utama Hukumnya adalah persamaan kedudukan di hadapan hukum (Equality Before The Law) artinya  tidak melakukan pembedaan apapun yang dapat mempengaruhi kedudukan sebagai warga negara Indonesia dengan kata lain Pengakuan serta perlindungan terhadap manusia tanpa membedakan latar belakang ras dan suku atau merupakan hak dasar yang melekat di setiap manusia yang secara hukum memiliki kedudukan harkat dan martabat yang sama. Dan hal tersebut berlaku bagi siapapun dan dimanapun tanpa ada diskriminasi serta pembedaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kemudian dalam konteks Hukum sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip Equality Before The Law Pemerintahan Indonesia membuat peraturan Bantuan Hukum dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara, khususnya bagi orang atau kelompok tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan dihadapan hukum. penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan  untuk menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan. 

Sebagaimana pemahaman Albert van Dicey menurutnya ada tiga ciri penting negara hukum yang disebutnya dalam the rule of law, yakni :

  1. Supremasi Hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan artinya seseorang boleh dihukum ketika melanggar hukum.
  2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum, bagi rakyat biasa maupun pejabat pemerintah.
  3. Terjaminya hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang atau keputusan Pengadilan

Negara Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Republik Indoneia 1945, yang mendasarkan landasan filosofis yuridisnya pada Pancasila mengeaskan prinsip hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 D Ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dan semangat Undang-Undang 1945 menjadi dasar penguat lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum nomor 16 tahun 2011 dan kemudian menjadi ciri Negara Hukum Indonesia yang dimaksud Albert Van Dicey.

Secara umum bahwa bantuan hukum mempunyai tujuan yang terarah pada bermacam-macam kategori sosial di dalam masyarakat, yaitu: (1) Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; (2) Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; (3) Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan (4) Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, setiap individu dijamin oleh Undang-Undang untuk memperoleh bantuan hukum dan Pemberian bantuan (pembelaan) hukum bagi masyarakat tidak mampu hanya dapat dilakukan oleh Advokat yang sudah terdaftar pada Pengadilan Tinggi setempat. Pemberian bantuan hukum tersebut dapat dilakukan melalui : Bantuan (pembelaan) hukum yang dilakukan oleh Advokat secara perorangan Bantuan (pembelaan) hukum yang dilakukan oleh Advokat secara kelembagaan melalui Lembaga Bantuan Hukum setempat. 

     Lebih jauh, pengertian tentang pembelaan atau bantuan hukum dapat dilihat dari istilah istilah  berikut ini :

1. Legal aid 

Konsep Legal Aid merujuk pada pengertian “state subsidized” artinya, Pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Pemberian bantuan hukum tidak semata-mata diberikan kepada masyarakat miskin ketika mereka menghadapi perkara di muka persidangan. Bantuan hukum yang diberikan terhadap mencakup masalah hukum keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Jenis bantuan hukum yang diberikan pun ada 2 (dua) jenis, yaitu bantuan hukum di dalam persidangan atau yang lebih dikenal dengan litigasi dan bantuan hukum di luar persidangan atau yang lebih dikenal dengan istilah non litigasi. Dari pengertian ini jelas bahwa bantuan hukum merupakan  membantu mereka yang tidakmampu menyewa jasa penasehat hukum. 

 

2. Legal assistance 

Pengertian legal assistance menjelaskan makna dan tujuan dari pendampingan hukum atau bantuan hukum lebih luas dari legal aid. Legal assistance lebih memaparkan profesi dari penasehat hukum sebagai ahli hukum, sehingga dalam pengertian itu sebagai ahli hukum, legal assistance dapat menyediakan jasa bantuan hukum untuk siapa saja tanpa terkecuali. Artinya, keahlian seorang ahli hukum dalam memberikan bantuan hukum tersebut tidak terbatas pada masyarakat miskin saja, tetapi juga bagi yang mampu membayar prestasi. Bagi sementara orang kata legal aid selalu harus dihubungkan dengan orang miskin yang tidak mampu membayar advokat, tetapi bagi sementara orang kata legal aid ini ditafsirkan sama dengan legal assistance yang biasanya punya konotasi pelayanan hukum atau jasa hukum dari masyarakat advokat kepada masyarakat mampu dan tidak mampu. Tafsiran umum yang dianut belakangan ini adalah legal aid sebagai bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu.

3. Legal Service 

Clarence J. Diaz mempopulerkan istilah “legal service”. Pada umumnya kecenderungan memberi pengertian yang lebih kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid atau legal assistance. Bila diterjemahkan secara bebas, arti dari legal service adalah pelayanan hukum, sehingga dalam pengertian legal service, bantuan hukum yang dimaksud sebagai gejala bentuk pemberian pelayanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak di dalam masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak ada seorang pun di dalam masyarakat yang terampas haknya untuk memperoleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukannya hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber daya finansial yang cukup. Istilah legal service ini merupakan langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi sistem hukum di dalam kenyataan tidak akan menjadi diskriminatif .

 

Dan dari istilah tersebut dapat dipahamai bahwa Kelangsungan pelaksanaan bantuan hukum tidak lepas dari peran Advokat sebagai realisasi dari tanggung jawab dan kepedulian sosialnya terhadap masyarakat. 

 

 

Sumber :

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Aof Ahmad Musyafa, S.H.

27 November 2022

Penggeledahan Sebagai Upaya Paksa Dalam Proses Penyidikan

Penggeledahan merupakan salah satu kewenangan penyidik selaku penegak hukum melakukan upaya paksa dalam kegiatan penyidikan suatu tindak pidana. Penggeledahan dilakukan agar mendapatkan bukti-bukti yang dapat menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa.

 

Ada dua jenis penggeledahan yang dapat dilakukan oleh Polisi ketika melakukan penggeledahan yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian atau badan.

 

Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

 

Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

 

Ketentuan Pasal 20 ayat (1) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menjelaskan bawah penggeledahan yang dialakukan oleh penyidik maupun penyidik pembantu harus dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan dan surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat perlu atau mendesak.

 

Baca juga : Dasar Hukum Pencabutan Laporan atas Delik Aduan di Kepolisian

 

Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) KUHAP, Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penggeledahan :

  1. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada diatasnya;
  2. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
  3. Ditempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
  4. Ditempat penginapan dan tempat umum lainya. 

Maksud dari keadaan yang sangat perlu atau mendesak adalah suatu kondisi dimana apabila dikhawatirkan bahwa tersangka dapat segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana kejahatan atau tersangka dapat memusnahkan maupun memindahkan barang bukti atas kejahatan yang dilakukannya.

 

Tata Cara Penggeledahan Rumah

 

Pasal 33 KUHAP :

  1. Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;
  2. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;
  3. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;
  4. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;
  5. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. 

Apabila penggeledahan rumah dilakukan diluar daerah hukumnya, berdasarkan ketentuan pasal 36 KUHAP, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan dilakukan.

 

Larangan Dalam Penggeledahan

 

Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat larangan-larangan bagi penyidik yang melakukan penggeledahan sebagai berikut  

 

Dalam melakukan penggeledahan orang, petugas dilarang :

  1. Melakukan penggeledahan tanpa memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas;
  2. Melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah;
  3. Melakukan penggeledahan dengan cara yang tidak sopan dan melanggar etika;
  4. Melakukan tindakan penggeledahan yang menyimpang dari Teknik dan taktik pemeriksaan, dan/atau tindakan yang diluar batas kewenangannya;
  5. Melecehkan dan/atau tidak menghargai hak-hak orang yang digeledah;
  6. Memperlama pelaksanaan penggeledahan, sehingga merugikan yang digeledah;
  7. Melakukan penggeledahan orang perempuan oleh petugas laki-laki ditempat terbuka dan melanggar etika.

Dalam melakukan penggeledahan tempat/rumah, petugas dilarang :

  1. Tanpa dilengkapi administrasi penyidikan;
  2. Tidak memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan;
  3. Tanpa memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan, tanpa alasan yang sah;
  4. Melakukan penggeledahan dengan cara yang sewenang-wenang, sehingga merusakkan barang atau merugikan pihak yang digeledah.
  5. Melakukn tindakan penggeledahan yang menyimpang dari kepentingan tugas yang diluar batas kewenangannya;
  6. Melakukan penggeledahan dengan cara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian atau gangguan terhadap hak-hak pihak yang digeledah;
  7. Melakukan pengambilan benda tanpa disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari ketua lingkungan;
  8. Melakukan pengambilan benda yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi;
  9. Bertindak arogan atau tidak menghargai harkat dan martabat orang yang digeledah;
  10. Melakukan tindakan yang menjebak korban/tersangka untuk mendapatkan barang yang direkayasa menjadi barang bukti; dan
  11. Tidak membuat berita acara penggeledahan setelah melakukan penggeledahan.

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

Admin LR

26 November 2022

Mengenal Secara Umum Hukum Perdata di Indonesia

Henry Ward Beecher menggambarkan bahwa hukum lahir demi melayani kepentingan manusia, yang patuh terhadap hukum. Manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial)[1] menghendaki agar kepentingannya terlindungi dan dapat berinteraksi secara harmonis dalam kehidupannya sebagai makhuk individu dan makhluk sosial.

 

Baca juga artikel terkait: Mengenal Jenis-Jenis Pihak Intervensi dalam Perkara Perdata

 

Hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan dalam arti luas meliputi segala hukum privat materiil, sedangkan dalam arti sempit, hukum yang mengatur kepentingan serseorangan dikenal dengan istilah hukum perdata.[2] Oleh sebab itu, hukum perdata sesungguhnya merupakan bagian dari hukum privat yang melingkupi bidang hukum lain, seperti hukum bisnis, hukum kepailitan, hukum perusahaan dan sebagainya. Hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dan kepentingan yang diatur bersifat privat/individual, yang berbeda dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dan warga negaranya demi kepentingan umum.

 

Hukum perdata di Indonesia memiliki karakter pluralis (beraneka ragam) karena sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia terdiri atas:

  1. Hukum adat yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli.[3]
  2. Hukum Perdata Eropa yang berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) yang berlaku bagi golongan bangsa Eropa, golongan timur asing Tionghoa dan timur asing lainnya dalam lingkup terbatas, serta golongan bangsa Indonesia yang dipersamakan dengan bangsa Eropa, hukum Islam yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia yang beragama Islam mengenai beberapa persoalan privat yang mencakup perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

 

Baca juga artikel terkait: Sewa-Menyewa Menurut Hukum Perdata

 

Hukum perdata, yang dalam hal ini Hukum Perdata materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW). Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku di Indonesia berdasarkan prinsip konkordansi (penyesuaian) yang sesuai dengan UUD 1945 dalam Aturan peralihan Pasal 1 yang berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”[4]

 

Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) menurut sejarahnya diundangkan melalui Staatsblaad No. 23 Tahun 1847 dan berlaku sejak tahun 1847.[5] Kemudian berlakunya Pasal 131 indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 163 IS merupakan salah satu momen sejarah yang menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di bidang keperdataan.

 

Hukum perdata menurut ilmu pengetahuan diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) golongan, yaitu:[6]

  1. Hukum tentang orang (pribadi).
  2. Hukum tentang keluarga.
  3. Hukum tentang harta kekayaan.
  4. Hukum tentang waris.

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 


Referensi bacaan:

[1] Suroyo Wignjodiputro, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-4, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), 9.

[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), 9.

[3] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,…………..10.

[4] Ahmadi Miru, Hukum Perdata Materiil dan Formil, 3.

[5] R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), 1.

[6] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,…………..16.

Admin RA

25 November 2022

Begini Tahapannya Jika Anda Ingin Menjadi Seorang Kurator

Profesi hukum merupakan profesi yang bergerak di bidang hukum. Profesi hukum tentunya banyak seperti Hakim, Jaksa, Pengacara, Notaris, Legal Officer, Kurator, dan lain sebagainynya. Namun dalam penulisan kali ini akan lebih membahas terkait dengan profesi Kurator.

 

Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk megurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

 

Persyaratan untuk Menjadi Kurator

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 37 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, yaitu:

  1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Berkewarganegaraan Indonesia dan berdomisili di wilayah Indonesia;
  3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
  4. Sehat jasmani dan rohani;
  5. Memiliki lisensi/tersertifikasi sebagai Advokat dan/atau Akuntan Publik.
  6. Telah mengikuti pelatihan Kurator dan Pengurus dan dinyatakan lulus dalam ujian yang penilaiannya dilakukan oleh Komite Bersama yaitu perwakilan dari Mahkamah Agung, Kemkumham, dan organisasi profesi kurator dan pengurus;
  7. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
  8. Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga; dan
  9. Membayar biaya penerimaan Negara Bukan Pajak yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apa sih tugas-tugas kurator itu?

Kurator bertugas untuk mengadministrasikan proses dalam Kepailitan seperti:

  1. Melakukan pengumuman putusan pailit (dua surat kabar dan berita negara RI);
  2. Mengundang Rapat Kreditur (Verifikasi/Pencocokan piutang);
  3. Segera melaksanakan inventarisasi atas seluruh budel pailit serta dengan persetujua, dapat melanjutkan usaha debitur pailit;
  4. Melakukan pengawasan terhadap budel pailit dengan segala cara yang yang dianggap perlu dan segera mengambil alih atas seluruh dokumen-dokumen, uang, perhiasan, saham, dan surat berharga lainnya;
  5. Dengan alasan untuk melindungi budel pailit, maka budel pailit dapat disegel/sita dengan persetujuan Hakim Pengawas;
  6. Bertindak untuk dan atas nama debitur pailit dalam menangani perkara-perkara yang melibatkan debitur pailit,baik dari kreditur, ataupun dari debitur dan debitur pialit;
  7. Melaporkan kondisi debitur dan budel pailit dan pelaksanaan tugas dan kewajibannya sebagai kurator setiap 3 (tiga) bulan;
  8. Membuat laporan rutin kepada Hakim Pengawas.

 

Baca juga artikel terkait: Penuhi Syarat Berikut Jika Anda Ingin Menjadi Seorang Advokat

 

Tugas-Tugas Utama Kurator

Tugas yang paling utama bagi kurator adalah melaksanakan tugas pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali, untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan prinsip pari passu pro rata parte.

 

Perbedaan Pengurus dan Kurator

Pengurus

Pengurus ditunjuk dalam hal adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tugas pengurus hanya sebatas menyelenggarakan proses PKPU, seperti misalnya melakukan pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditor, ditambah dengan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitor dengan tujuan agar Debitor tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan hartanya.

 

Kurator

Kurator diangkat pada saat debitor dinyatakan pailit. Sebagai akibat dari keadaan pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, maka debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan kurator.

 

Hal-hal yang Harus Dimiliki untuk Menjadi Seorang Kurator/Pengurus

  1. Menguasi ilmu hukum kepailitan secara kompherensif.
  2. Memiliki pemahaman memadai dalam bidang ilmu terkait dengan kepailitan, Hukum Perpajakan, Hukum Jaminan Kebendaan, Hukum Perikatan, Hukum Perbankan, dan lainnya.
  3. Mempunyai kemampuan sebagai perantara antara debitor dan kreditor (teknik negosiasi yang baik).
  4. Memahami bidang usaha dari debitor pailit yang menjadi objek pengurusan kurator.
  5. Sehat jasmani dan rohani, memiliki integritas yang tinggi serta patuh terhadap kode etik profesi pengurus dan kurator.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

Sumber tulisan dan bacaan:

Bahan Materi Seminar Nasional Belajar Bareng Hukumku Profesi (BBH Profesi) “One Step Becoming A Curator: Curator and Administration”, Jakarta, 24 April 2021.

Pemateri: Dr. Jimmy Simanjuntak, S.H., M.H. – Managing Partners of Jimmy Simanjuntak & Partners Law Firm – Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).

Admin RA

21 November 2022

Mengenal Dasar Teknik Penelusuran Hukum

Penelusuran hukum adalah sebuah sarana untuk menemukan  hukum melalui sebuah peranti atau alat yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang bersifat aktif dan dinamis. 

 

Penelusuran hukum berarti suatu upaya untuk mencari dan menemukan informasi hukum.

Penelusuran hukum memiliki suatu tujuan, yakni mencari dan menemukan informasi tentang hukum dari sudut kebutuhan seorang advokat. Informasi tentang hukum ini setidaknya mencakup himpunan peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan artikel-artikel hukum. Adapun terkait dengan jenis data yang berkaitan dengan penelusuran hukum, yaitu jenis data primer (yang diperoleh langsung) dan data sekunder (diperoleh dari sumber kedua).

 

Baca juga artikel: RKUHP Manifesto Kolonialisme Wajah Baru

 

Teknik penelusuran hukum terdapat dua cara yakni penelusuran secara manual dan secara elektronik. Teknik penelusuran secara manual maksudnya adalah formulasi dan identifikasi dapat dilakukan dengan melakukan penelusuran ke perpustakaan hukum atau pusat dokumentasi hukum. Praktisi hukum harus memiliki pengetahuan mengenai subyek yang didata, misalnya topiknya atau jika peraturan perundang-undangan mengetahui nomor dan tahunnya, namun akan lebih baik dan lebih mudah ditelusuri melalui lembaran negara dan tambahan lembaran negara. Sedangkan secara elektronik yaitu dalam teknik ini digunakan perangkat elektronik dan memanfaatkan sistem (software) yang berisi bahan-bahan hukum antara lain domain/web/internet, e-library, dst.

 

Setelah melakukan penelusuran hukum, biasanya akan dilakukannya dokumentasi hukum yang tujuan adanya dokumentasi hukum itu sendiri yaitu untuk menyusun bahan hukum dan informasi hukum agar mudah untuk digunakan sesuai dengan kepentingan hukum.

 

Teknik penelusuran dan dokumentasi hukum ini sangatlah penting karena dengan memahami  hal tersebut kita dapat mengetahui peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat, selain itu juga dapat memudahkan untuk melakukan analisis hukum terhadap suatu permasalahan yang terjadi.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

Baca juga artikel lainnya:

 

 

Referensi:

Review pada acara Pendidikan dan Pelatihan Paralegal yang diselenggarakan oleh LKBH HMI Cabang Bondowoso-Situbondo, 2021. 

Pemateri: Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.

Admin RA

18 November 2022

Jenis-Jenis Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran pemilu adalah tindakan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait pemilu. Pelanggaran pemilu dapat berasal dari temuan atau laporan.

 

Temuan pelanggaran pemilu merupakan hasil pengawasan aktif Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Luar Negeri, dan Pengawas TPS pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

 

Selain berdasarkan temuan Bawaslu, laporan pelanggaran pemilu bisa langsung dilaporkan oleh Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, peserta pemilu, dan pemantau pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS. 

 

Laporan pelanggaran pemilu disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat nama dan alamat pelapor, pihak terlapor, waktu, tempat kejadian perkara dan uraian kejadian. Laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan adanya pelanggaran pemilu.

 

Jenis-jenis Pelanggaran Pemilu

 

Pelanggaran Administratif

 

Pasal 460 UU No. 7 Tahun 2017 “pelanggaran administratif meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.”

 

Pemeriksaan pelanggaran administratif dilakukan secara terbuka. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memutus penyelesaian pelanggaran administratif pemilu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi

 

Dalam putusan pelanggaran administratif, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota berupa :  

  • perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • teguran tertulis;
  • tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu; dan
  • sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam dalam Undang-Undang ini.

 

Pelanggaran Kode Etik

 

Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran etika penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. 

 

Tugas DKPP yaitu menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik, kemudian melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilkukan oleh penyelenggara pemilu.  

 

Pelanggaran kode etik ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan putusannya berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap atau rehabilitasi.

 

Baca juga : RKUHP manifesto Kolonialisme Wajah Baru

 

Tindak Pidana Pemilu

 

Pelanggaran tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu serta undang-undang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tindak pidana pemilu ditangani oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam forum/lembaga Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Perkara tindak pidana pemilu diputus oleh pengadilan negeri, dan putusan ini dapat diajukan banding kepada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain

 

Dalam Pasal 488 sampai Pasal 554  ditemukan  81  (delapan  puluh  satu)  jenis  tindak  pidana Pemilu, 16 dengan  beberapa kualifikasi  subyek  pelaku  tindak  pidana  meliputi  setiap  orang,  kelompok,  perusahaan, badan   usaha   non-pemerintah,   kepala   desa   atau   sebutan   lain,   ketua   dan   anggota KPPS/KPPSLN, anggota PPS atau PPLN, anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota,  anggota PPK,  anggota  pelaksana  dan/atau  tim  kampanye,  peserta kampanye,  peserta Pemilu,  Panwaslu Kecamatan,  Panwaslu  Kelurahan/Desa,  Panwaslu luar  negeri,  Pengawas  TPS, anggota  Bawaslu,  anggota Bawaslu  Provinsi,  anggota Bawaslu  Kabupaten/Kota,  pimpinan  parpol  atau gabungan  parpol,  calon presiden  dan wakil  presiden,  pejabat  negara,  hakim,  ketua  atau  anggota  BPK, gubernur,  deputi gubernur  senior  dan/atau  deputi  gubernur  BI  serta  direksi,  komisaris,  dewan pengawas, dan/atau karyawan BUMN/BUMD. 

 

Selain UU No. 7 Tahun 2017, ketentuan mengenai tindak pidana dalam Pemilu 2019 juga  diatur  dan/atau mengacu  pada  peraturan  perundang-undangan  lain,  yaitu  UU  No.  8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). proses penyelidikan, penyidikan,    penuntutan,    dan    pemeriksaan    tindak    pidana Pemilu    sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 477,Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2018 tentang Hakim    Khusus    Tindak    Pidana    Pemilihan    dan    Pemilihan    Umum    sebagaimana diamanatkan  dalam  Pasal  485  ayat  (6), dan  Peraturan  Bawaslu  No.  31  Tahun  2018 tentang  Sentra Penegakan  Hukum  Terpadu  sebagaimana  diamanatkan  dalam  Pasal  486 ayat (11) yang menggantikan Peraturan Bawaslu No. 9 Tahun 2018.

 

 

 

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

 

Referensi :

JDIH KPU

Admin LR

16 November 2022

Penegakan Hukum bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana

Penegakan hukum terhadap tindak pidana anak tentunya berbeda dengan pelaksanaan penegakan hukum terhadap orang dewasa pada umumnya. Perbedaan tersebut yaitu apabila anak yang melakukan suatu tindak pidana, maka pelaksanaan penegakan hukum akan memiliki sistem tertentu atau khusus. Perbedaan tersebut bukan disebut sebagai diskriminasi sistem penegakan hukum, namun anak dan orang dewasa pada kenyataannya memiliki perbedaan yang dapat dilihat secara nyata yaitu anak masih dianggap lemah atau belum mampu dan masih perlunya bimbingan dan pembinaan yang maksimal demi masa depan anak. Sedangkan, orang dewasa pada umumnya dianggap sudah mampu bahkan tidak harus selalu untuk dibimbing karena sudah memiliki kemandirian dalam bertindak, walaupun pada hakikatnya sama saja antara anak maupun orang dewasa bimbingan dan pembinaan itu sangat diperlukan. Dengan begitu dapat dipahami bahwa dalam hal ini anak dan orang dewasa dapat dibedakan berdasarkan salah satunya adalah porsi yang mana pada anak harus lebih diperhatikan dalam hal bimbingan dan pembinaan sehingga hak-hak anak sebagai peran anak tidak hilang.

 

Anak yang melakukan tindak pidana yang dalam hal ini anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) tentunya dalam pelaksanaan penegakan hukum akan berbeda dengan pada umumnya, karena Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sudah diatur dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). 

 

Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki fungsi yaitu tidaklah jauh berbeda dengan fungsi peradilan pada umumnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, namun khusus untuk Peradilan Pidana Anak perkara yang ditangani ini hanya menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dimaksudkan untuk menjamin pertumbuhan fisik dan mental anak sebagai aset negara dan generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan masa depannya, di mana dalam hal ini pun untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai upaya tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.[1]

 

Mengenai upaya perlindungan hukum terhadap anak yang khususnya anak berhadapan dengan hukum (ABH), telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), hal tersebut bertujuan supaya hak-hak anak yang dalam hal ini berhadapan dengan hukum (ABH) dapat lebih terlindungi dan terjamin. Selain itu, bahkan dalam undang-undang tersebut bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi. Diversi ini adalah langkah kekeluargaan untuk musyawarah bersama dalam hal ini antara pelaku dan korban namun tetap di dalam setiap tahap proses peradilan.[2]

 

Diversi adalah langkah yang tepat karena menjadi jawaban atas tujuan untuk penyelesaian perkara anak secara adil. Namun, dalam pelaksanaan diversi ini memerlukan beberapa persyaratan yang sudah menjadi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, seperti dengan melihat usia anak, sifat perbuatannya apakah baru pertama kali dilakukan atau bentuk pengulangan, diberlakukan dalam tindak pidana ringan, adanya persetujuan dari korban dan kesepakatan para pihak, serta kerelaan masyarakat untuk mendukung proses diversi.[3]

 

Diversi merupakan salah satu bentuk keadilan restoratif yang mana diversi dan keadilan restoratif sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang lebih mengutamakan perdamaian dari pada proses hukum formal. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai kewajiban para penegak hukum mengupayakan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana) pada seluruh tahapan proses hukum. Bahkan keadilan restoratif yang merupakan sebagai pelaksanaan diversi, terdapat turunannya dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu PERMA No. 4 Tahun 2014 entang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam PERMA tersebut terdapat poin penting yaitu hakim wajib menyelesaikan persoalan anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) dengan cara diversi dan memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian perkara pidana anak.[4]

 

Pada prinsipnya diversi bertujuan untuk memberikan anak secara perlindungan psikis maupun fisik agar dapat menjalai kehidupan yang tidak dipandang sebagai penjahat, tidak melakukan tidakan yang sama dan untuk menjadi pembelajar hidup. Dalam penyelesaian perkara di luar peradilan dengan mengembalikan kepada masyarakat dengan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya agar kehidupan anak lebih baik. Ketika Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang melalui proses Informal dapat dengan cara mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat ataupun melalui Pemerintah maupun Non pemerintah. Diversi membawakan suatu peradilan anak yang membawakan dampak piskologi anak secara baik dan memberikan rasa keadilan kepada perkara anak yang melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum untuk dapat melindungan hak-hak anak dan sebagai penegak hukum dapat melaksanakan upaya alternatif agar dapat menjadi solutif.

 

Adanya sistem peradilan khusus dalam hal ini sistem peradilan pidana anak tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa keterlibatan anak dalam perbuatan pidana atau berhadapan dengan hukum dapat terjadi, dengan begitu hadirnya sistem peradilan khusus yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini selain sebagai pembeda dari pidana yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya, dan memerhatikan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, tetapi juga sebagai upaya pencegahan terhadap diskriminasi hak asasi yang melekat sejak lahir dari anak. Dengan begitu penerapan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus bisa menyesuaikan dengan sifat, karakter dan emosional anak (kejiwaan anak).


 

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

 

Referensi:

[1] Bambang Purnomo, Gunarto, Amin Purnawan, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak sebagai Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Hukum Khaira Ummah 13 (2018), hlm. 48.

[2] Bambang Purnomo, Gunarto, Amin Purnawan, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak sebagai Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, ………, 49.

[3] Yoga Nugroho, Pujiyono, “Penegakan Hukum Pelanggaran Lalu Lintas oleh Anak: Analisis

Kepastian dan Penghambat”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4 (2022), hlm. 55.

[4] Yul Ernis, “Diversi dan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 10 (2016), hlm. 163.

 

Admin RA

14 November 2022

Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik

Bermain merupakan kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, karena dengan bermain anak dapat mengembangkan dirinya, bergaul dan mengenal hal-hal baru, berkreasi, belajar berkompetisi. 

 

Kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat ternyata juga mempengaruhi aktivitas bermain anak. Perkembangan teknologi mengakibatkan suatu peralihan budaya dalam suatu permainan, yakni dari permainan tradisional ke permainan modern.
 

Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

 

Selanjutnya Pasal 61 ayat (1) UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia  menyatakan bahwa “setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.”

 

Permainan Interaktif Elektronik
 

Menurut Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “permainan interaktif elektronik adalah aktivitas yang memungkinkan tindakan bermain berumpan balik dan memiliki karakteristik setidaknya berupa tujuan (objectives) dan aturan (rules) berbasis elektronik berupa aplikasi perangkat lunak.”
 

Tanggung jawab penyelenggara Permainan Interaktif Elektronik mengacu pada pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan “bahwa setiap penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.”
 

Baca juga : Larangan Penyalahgunaan Data Pribadi Menurut UU Perlindungan Data Pribadi

 

Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik
 

Kategori konten tersebut tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) bahwa kategori konten terdiri atas :  “Rokok, minuman keras, dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, Kekerasan, darah, mutilasi, dan kanibalisme, Penggunaan bahasa, Penampilan tokoh, Seksual, Penyimpangan seksual, Simulasi judi, Horor, Interaksi daring.”
 

Kemudian penggolongan kelompok usia terdapat pada Pasal 4 ayat (3) bahwa kelompok usia pengguna terdiri atas “Kelompok usia 3 (tiga) tahun atau lebih, Kelompok usia 7 (tujuh) tahun atau lebih, Kelompok usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih, Kelompok usia 18 (delapan belas) tahun atau lebih; dan Kelompok semua usia.”

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2016 menyatakan bahwa Permainan Interaktif Elektronik yang tidak dapat diklasifikasikan apabila konten yang terdapat pada produk :

 

a.Menampilkan dan/atau memperdagangkan pornografi; 

b. Merupakan kegiatan judi yang dapat menggunakan uang asli ataupun uang virtual yang dapat ditukarkan menjadi uang asli; dan/atau 

c. Bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
 

Penyelenggara yang mengajukan klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik wajib melakukan pendaftaran melalui situs www.igrs.id

 

Indonesia Game Rating System (IGRS) adalah salah satu kebijakan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik, berdasarkan kategori konten game dan kelompok usia pengguna.

Salah satu kelemahan dari kebijakan mengenai igrs.id adalah dari segi pengontrolan dan penyelenggara game yang harus diklasifikasi. Apabila penyelenggara game mendaftarkan permainannya maka game tersebut dapat dikontrol oleh komite klasifikasi.

 

Namun, apabila penyelenggara tidak mendaftarkan maka game tersebut tidak terkontrol. Selain pendaftaran yang dilakukan oleh penyelenggara game, masyarakat dapat melakukan pengaduan terkait dengan game apabila diangga berdampak negatif.
 

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

 

 

Dasar Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik
 

Admin LR

13 November 2022

RKUHP Manifesto Kolonialisme Wajah Baru

Penulis : Sultoni - Pegiat Sosial

 

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang prosesnya sedang berjalan untuk disahkan, kini sedang dalam tahap sosialisasi yang dilakukan Kemenkumham di beberapa Perguruan Tinggi. Pada 21-22 November 2022 mendatang, DPR RI komisi III akan menggelar rapat membahas RKUHP. Rencananya, di akhir tahun 2022 RKUHP akan disahkan. 

 

Sayangnya masih ada 9 pasal yang akan mengancam kebebasan warga Negara. Kebebasan yang di masa berdarah-darah era kolonialisme diperjuangkan oleh segenap warga Negara untuk menjadi bangsa yang merdeka. Kebebasan yang di masa reformasi, agar terlepas dari otoritarianisme rezim Soeharto. Kini, kebebasan itu akan berakhir di rezim Jokowi.

 

Padahal RKUHP yang sedang dibahas ini, digadang-gadang mempunyai 5 misi, yakni : dekolonisasi yang artinya menghilangkan nuansa-nuansa kolonial, demokratisasi yaitu pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai konstitusi dan pertimbangan hukum, dan konsolidasi yakni penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagai UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi. 

 

Hal itu disampaikan oleh Edward Oemar Sharif Hiariej sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) dalam sosialisasi RKUHP di berbagai kota. 

 

Semangat itu hanya sebatas semangat belaka, tapi nuansa kolonialisme yang terdapat di KUHP lama semakin dipertegas,  mempertegas pengekangan terhadap warga Negara, memenjarakan mereka yang kritis, serta membunuh nalar kritis warga Negara. 

 

Dekolonisasi macam apa yang produk hukumnya justru memenjarakan nalar kritis, membungkam warga Negara yang bersuara, nir-empati terhadap keresahan warga. Misalnya, dalam pasal penghinaan terhadap aparatur Negara. Meski diksinya adalah penghinaan. Kita sama-sama tahu, bagaimana kesewenang-wenangan aparat hukum begitu telanjang dalam menafsirkan hukum. Lebih-lebih, kata Edward yang menjabat sebagai Wamenkumham, saat acara di Narasi TV, “Bahwa mekanisme penegakan hukum dalam memaknai pasal, ada di penegak hukum."

 

Baca juga : Mengenal Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

 

Ada banyak kasus dikriminalisasi, karena tafsir sesuka-suka mereka yang berkuasa. sebagai contoh kasus Budi Pego melawan tambang emas di Banyuwangi mendekam jeruji, karena dituduh mengibarkan Palu Arit, padahal dalam pembuktian persidangan, benderanya tidak ada.

 

Selain itu, kawan-kawan penolak PLTU di Indramayu, saat merayakan kemenangan  gugatan di PTUN, 4 warganya dipenjara, karena dituduh mengibarkan bendera Indonesia secara terbalik.

 

Ada beberapa pasal kontroversial di RKUHP. Saya akan merangkumnya di sini:

 

Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

 

Ruang lingkup yang diatur dalam RKUHP begitu serampangan. Misalnya, dalam pasal 1 dikatakan “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

 

Kemudian di pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”

 

Ayat 2 di pasal 2 mengatakan bahwa “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

 

Bahwa benar, bahwa adat di Indonesia begitu beragam dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai ada yang ada di berbagai daerah. Tapi implikasinya bisa runyam, bagaimana Negara sesuka-sukanya menentukan mana yang berlaku atau tidak.  Lebih-lebih cerita bagaimana masyarakat ada digusur begitu banyak yang kita dengar, misalnya masyarakat adat Besipae di NTT digusur dari tanah adatnya. 

 

Begitu dalam catatan tahunan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2020, terdapat 40 (empat puluh) kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang terjadi pada tahun 2020. Sebagian besar kasus tersebut merupakan kasus yang telah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi terus berlanjut karena tak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara.

 

Dengan hadirnya hukum yang hidup di masyarakat, alih-alih melindungi justru akan rentan dikriminalisasi. Lebih-lebih, pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan, ekspansi kapital di wilayah adat seperti peningkatan perluasan perkebunan sawit di Papua selama masa pandemi. Pada periode Januari – Mei 2020, diperkirakan 1.488 hektar hutan di Papua lenyap.

 

Penghinaan Terhadap Presiden, Wakil Presiden dan Lembaga Negara

 

Saking ogahnya mendapatkan kritik, aparatur Negara yang kerjanya banyak tidak becusnya membuat aturan untuk melindungi dirinya sendiri dengan adanya pasal penghinaan. Hal ini tertuang dalam pasal 218 ayat 1 “Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

 

Pasal selanjutnya 349 ayat 1 disebutkan, “setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara (mencakup DPR, kejaksaan, atau Polri), dapat dipidana dengan ancaman maksimal 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.”

 

Baca juga : Perbedaannya Antara Kejahatan Dengan Pelanggaran

 

Padahal menurut Wahyudi Djafar dari ELSAM mengatakan “Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal penghinaan ini. Inggris yang merupakan salah satu negara tertua dengan pasal defamasi pun sudah mencabutnya. Kenapa Indonesia justru ingin lebih represif dalam konteks penerapan pasal ini,” katanya, saat diwawancarai Vice Indonesia.

 

Begitu pula kata pengamat hukum dari Universitas Nasional (Unas) Ismail Rumadan menilai tidak ada dasar hukum acuan yang bisa melegitimasi pasal ini. “Pasal ini targetnya membungkam masyarakat agar tidak boleh mengkritik tingkah laku aparat penegak hukum yang cenderung melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM)," ujar Ismail saat diwawancarai Harian Terbit.

 

Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

 

Hal yang konyol selanjutnya adalah mempidana yang tidak sesuai dengan ideologi Negara. Tidak asing seperti hidup di Negara otoriter. Ideologi Negara yang dimaksud adalah ideologi yang bertentangan, seperti ideologi Marxisme/Komunisme. 

 

Pasal 188 berbunyi “Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

 

Sedangkan penjelasannya adalah yang dimaksud dengan “komunisme/marxisme-leninisme” adalah paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, yang mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.

 

Keanehannya adalah, menukil pendapatnya Jan Remmelink tentang Hukum Pidana “Hukum Pidana memiliki karakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah. Perintah dan Larangan tegas memberikan nuansa khas pada hukum pidana.” 

 

Pertanyaanya kemudian, larangan dan perintah yang tegasnya terletak di mana. Apakah ketika warga Negara belajar perihal ide akan menimbulkan kerugian bagi kemaslahatan publik? Atau apakah marxisme dan komunisme hanya dimiliki oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung? Bagaimana dengan Tan Malaka? Bagaimana dengan Soekarno, yang di masa perjuangannya juga terpapar dengan ide-ide komunisme dalam memperjuangkan kemerdekaan.

 

Tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan

 

Selanjutnya adalah perihal kontrasepsi. Negara, alih-alih melindungi warga negaranya dari penularan HIV/Aids, serta anak-anak stunting, yang orang tuanya tidak siap mempunyai anak karena berbagai faktor. Justru memperpanjang kesengsaraan untuk warga negaranya. 

 

Hal ini tercantum di Pasal 410 yang berbunyi “Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.”

 

Adapun di Pasal 411 tercantum keterangan: "Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

 

Maka, di hari anti kolonialisme ini. Saya menolak RKUHP yang prosesnya sedang berjalan. Saya sepakat, bahwa RKUHP perlu adanya pembaharuan, karena sudah tidak relevan dengan zaman. Tapi pembaharuannya bukan dalam rangka merepresif, mendiskrimasi dan fasis terhadap warga negaranya. 

 

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

 

Sumber Hukum :

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

 

Referensi :

Detiknews

kemenkumham.go.id

Narasi TV

Kompas.com

Vice Indonesia

Harian Terbit

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

BBC News Indonesia

Catatan Akhir Tahun 2020 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

 

 

Admin LR

12 November 2022

Sanksi Terhadap Penganiayaan Hewan

gambar : PSBH FH UNILA

 

 

Aksi penganiayaan tidak hanya dilakukan terhadap manusia, tetapi juga bisa terjadi pada hewan. Dilansir dari Narasinewsroom, kasus penganiayaan hewan yakni kucing baru-baru ini terjadi Jalan kayu manis Matraman Jakarta Timur.

 

Pelaku menganiaya kucing tersebut hingga tewas menggunakan Paving blok. Pelaku mengaku kesal karena di depannya seringa ada bekas muntahan, kotoran dan sisa makanan kucing.

 

Selain itu, dilansir dari laman youtube tvOneNews, seorang pemuda berinisial RD yang berasal dari Kabupaten Sumedang Jawa Barat, sengaja mengadu anjing peliharaannya dengan kucing tak berdaya dengan alasan untuk melatih keberanian anjing miliknya.

 

 Definisi Penganiayaan Hewan

 

Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada didarat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang dihabitatnya.

 

Penganiayaan hewan adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan diluar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan.

 

Penganiayaan hewan dapat berupa penganiyaan membuat hewan cacat, merusak kesahatan hewan, sengaja tidak memberi makan hewan peliharaan, mempekerjakan hewan melampaui batas kemampuannya, membunuh hewan dengan cara aniaya secara perlahan hingga akhirnya tewas.

 

Baca Juga : Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

 

Ancaman Hukuman Penganiayaan Terhadap Hewan

 

Tindak pidana penganiayaan terhadap hewan atau binatang diatur dalam Pasal 302 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

 

(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:

 

  1.  barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya.
  2. barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaan dan ada dibawah penguasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharannya.

(2). Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

 

Selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan  dan Kesehatan Hewan pada Pasal 66 A menyatakan bahwa :

 

“Setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif."

 

"Setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagiman dimaksud pada ayat 1 wajib melaporkan kepada pihak yang berewang."

 

Ketentuan ancaman pidana pada Pasal ayat 66A terdapat pada Pasal 91 B ayat (1) yang berbunyi :

 

“setiap orang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan sehingga mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif sebagimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.00,00 (lima juta rupiah)."

 

“setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 A ayat 1 dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang sebagaimana dalam pasal 66A ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

 

Demikan, semoga bermanfaat.

 

 

 

Sumber Referensi

Narasinewsroom

tvOneNews

 

Dasar Humum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan  dan Kesehatan Hewan

Admin LR

11 November 2022

Ketentuan Hukum Peredaran Obat Secara Daring

Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan”. Oleh sebab itu kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus dijamin oleh pemerintah.

 

Obat menjadi salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Akibat dari perkembangan teknologi informasi, pendistribusian atau penjualan obat mengalami perubahan dari transaksi konvensional beralih menjadi transaksi jual beli secara online.

 

Maraknya penjualan obat secara daring melalui berbagai platform baik media sosial atau lainnya meningkatkan potensi penyalagunaan obat dan penyebaran obat illegal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

 

Pasal 30 ayat 5 Undang-Undang Kesehatan manyatakan bahwa “setiap fasilitas kesehatan dalam mendistribusikan obat wajib memiliki ijin”.

 

Izin Peredaran atau penjualan obat-obatan secara daring hanya diberikan kepada pihak yang sudah mengantongi izin yang dikerluarkan oleh intsansi terkait.

 

Ketentuan Peredaran Obat Secara Daring

 

Berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring, menyatakan bahwa izin peredaran atau penjualan obat-obatan secara daring hanya diberikan kepada pihak Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Pedagang Besar Farmasi Cabang, dan Apotek yang telah menggunakan Sistem Elektronik.

 

Dalam Pasal 7 ayat ayat (1) menerangkan bahwa Peredaran obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yanga termasuk dalam golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat Keras.

 

Baca juga : Alasan Kenapa Narkotika Tidak Boleh Asal Sembarangan Digunakan, Kenali Aspek Hukumnya!

 

Larangan Peredaran Obat Secara Daring

 

Pasal 27 PBPOM No. 8 Tahun 2020 menyatakan bahwa Apotek dan/atau PSEF dilarang mengedarkan secara daring Obat yang termasuk dalam :

 

  1. Obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Obat yang mengandung prekursor farmasi;
  3. Obat untuk disfungsi ereksi;
  4. Sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri;
  5. Sediaan implant yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan;
  6. Obat yang termasuk kedalam golongan Narkotika dan Psikotropika.

Selanjutnya, pada Pasal 31 menerangkan bahwa Peredaran Obat dan PKMK secara daring dilarang melalui Media Sosial, Daily Deals, dan Classified Ads.”

 

Ketentuan Sanksi terhadap Pelanggaran Peredaran Obat Secara Daring

 

Dalam Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 pada Pasal 32 ayat 2 menegaskan bahwa dapat diberlakukannya sanksi administratif berupa peringatan, penutupan atau pemblokiran Sistem Elektronik, pencabutan izin, larangan mengedarkan dalam waktu tertentu, bahkan sampai dengan dilakukannya penarikan obat yang telah di edarkan.

 

Selain ketentuan administratif, sanksi pidana pidana juga dapat dijatuhkan terhadap pelaku sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan sebagai berikut :

 

Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa :

“setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

 

Selanjutnya, Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa :

 

“setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar, dipidana degan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

 

Dasar Hukum

Pasal 28 H ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan Yang Diedarkan Secara Daring

Admin LR

10 November 2022

Pentingnya Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Para Pihak

Mediasi memiliki peranan penting dalam menyelesaikan sengketa, hal tersebut dikarenakan mediasi bukan hanya untuk menyelesaikan sengketa para pihak saja  melainkan memberikan rasa keadilan para pihak karena menitikberatkan kepada penyelesaian sengketa dengan prinsip win-win solution dengan kata lain tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

 

Mediasi juga merupakan suatu proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (mediator) bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa membantu untuk memperoleh kesepakatan yang memuaskan. Mediasi berbeda dengan proses litigasi (peradilan) ataupun arbitrase, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa, hal itu dikarenakan mediasi sifatnya adalah tidak memaksa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang mana dipercayakan kepada para pihak yang bersengketa.

 

Tujuan utama dari mediasi adalah kompromi dalam menyelesaikan persengketaan para pihak. Proses mediasi dalam menyelesaikan perkara sengketa para pihak harus kesemuanya dari pihak yaitu para pihak yang bersengketa dan mediator harus sama-sama saling kooperatif, hal itu bertujuan supaya proses mediasi dapat berjalan dengan lancer dan dapat berkemungkinan besar mediasi berhasil.[1]

 

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, proses mediasi wajib dilakukan oleh para pihak yang berperkara secara perdata di Pengadilan dan yang dilakukan pada hari sidang pertama.[2] Mediasi tersebut dilakukan supaya para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan cara perdamaian tanpa menjalani proses persidangan.

 

Mediasi merupakan salah satu bagian dari alternative penyelesaian sengketa atau dalam istilah bahasa Inggris yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR) yang mana cara-cara alternative dalam penyelesaian sengketa ini sudah dimulai memasyarakat dikalangan praktisi secara internasional. Alternatif penyelesaian sengketa ini mengenai kebutuhan tentunya di berbagai negara berbeda. Walaupun Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ini sangat dibutuhkan tetapi di sisi lain menjadi sebuah persaingan atau kompetisi dari system peradilan yang sudah ada. Melihat kondisi tersebut nampaknya Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ini adalah peluang dalam menyelesaikan perkara yang memakan biaya tinggi serta prosedurnya yang tidak rumit.[3] 

 

Menurut buku Huala Adolf penyelesaian sengketa atau perkara melalui litigasi, pada umumnya akan menimbulkan suasana permusuhan yang dapat berkepanjangan bagi para pihak yang bersengketa. Hal itu dapat dibayangkan apabila ini terjadi bagi para pengusaha ataupun keluarga yang memerlukan kesinambungan dari hubungan kerja sama jangka panjang. Selain itu, litigasi juga memerlukan waktu, biaya, ditambah dengan alasan teknis yaitu penumpukan kumlah perkara di pengadilan. Melihat hal tersebut yang terjadi dalam penyelesaian sengketa perdata, lingkungan, bisnis, perburuhan, dalam ruang lingkup nasional maupun internasional maka Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sangatlah diperlukan.[4]

 

Baca juga artikel: Sewa-Menyewa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

Menurut William Ury. J.M. Brett dan S.B. Goldbreg sebagaimana dikutip oleh Susanti Adi Nugroho dalam bukunya, bahwa alternatif penyelesaian sengketa ini sangat lah penting hal ini didasarkan pada sejarah perkembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika Serikat yaitu:

 

  1. Mengurangi kemacetan di Pengadilan, hal ini karena banyaknya kasus yang diajukan ke Pengadilan menyebabkan proses Pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
  2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.
  3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.
  4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima dan memuaskan semua pihak.[5]

Selain daripada itu, pentingnya adanya alternatif penyelesaian sengketa (APS) yaitu salah satunya mediasi, sudah termaktub dalam pertimbangan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan huruf (b) yaitu “bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)”.[6] Dengan begitu mediasi bukan hanya sebagai alternatif penyelesaian sengketa para pihak, melainkan juga dapat mencegah adanya penumpukan perkara di Pengadilan. 

 

Baca juga artikel: Bedanya Permohonan dan Gugatan dalam Hukum Acara Perdata

 

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sangatlah penting untuk menyelesaikan sengketa para pihak dan untuk mencegah penumpukan perkara di Pengadilan. Selain itu, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ini adalah sebagai alternatif atau jalan keluar lain sebagai solusi dalam penyelesaian sengketa yang didasarkan kepada prinsip jalan win-win solution para pihak yang bersengketa.

 

Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Para Pihak

 

Manfaat mediasi dalam penyelesaian sengketa sebagai salah satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa tentu memiliki manfaatnnya. Manfaat atau keuntungan dari mediasi yaitu sebagai berikut:

 

  1. Prosesnya cepat, proses mediasi rata-rata tidak membutuhkan waktu yang lama, berbeda halnya dengan melalui proses Pengadilan yang terkadang membutuhkan waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.
  2. Privatif atau bersifat rahasia, dalam proses mediasi segala hal yang diucapkan para pihak selama proses mediasi bersifat privasi atau rahasia karena tidak boleh dihadiri oleh pihak lain yang berkepentingan. Selain itu materi mediasinya pun tidak disampaikan ke publik.
  3. Adil, proses mediasi memberikan solusi yang ditawarkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing para pihak. Dengan begitu dalam proses mediasi dapat diselesaikan melalui jalan yang diinginkan dan disesuaikan oleh para pihak.
  4. Biaya murah, pelayanan mediasi baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan biayanya relatif murah. Bahkan banyak lembaga bantuan yang menyediakan secara gratis dan tidak perlu melibatkan pengacara.
  5. Berhasil dengan baik, banyak kasus melalui proses mediasi berhasil dengan baik, walaupuan untuk kasus-kasus tertentu seperti perceraian terkadang tidak bias menghasilkan perdamaian, tetapi banyak pihak yang bias menghasilkan “perdamaian sebagian” dan para pihak menerima hasil tanpa meninggalkan dendam.[7]

Sedangkan menurut Gatot Soemartono, mediasi memberikan manfaat dalam penyelesaian perkara yaitu sebagai berikut:

 

  1. Mediasi diharapkan bias menyelesaikan perselisihan dengan cepat jika dibandingkan dengan menyelesaikan ke Pengadilan (litigasi) atau melalui arbitrase.
  2. Mediasi memfokuskan kepentingan para pihak secara nyata, berdasarkan kebutuhan psikologis atau emosi mereka, tidak hanya pada hak-hak hukumnya saja.
  3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal membantu menyelesaikan perselisihan mereka.
  4. Mediasi memberikan kemampuan pra pihak yang berperkara untuk melakukan control terhadap proses dan hasilnya.
  5. Mediasi bias mengubah hasil yang dalam jalur litigasi atau arbitrase sulit diprediksi dengan kepastian melalui consensus.
  6. Mediasi memberikan hasil baik yang mampu menciptakan saling pengertian diantara para pihak, karena mereka sendiri yang memutuskannya.
  7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim atau arbiter.[8]

Christoper W. Moore, sebagaimana dikutip Runtung, selain memberikan pendapat yang nyaris serupa dengan poin-poin di atas, juga menambahkan keuntungan mediasi anatara lain:

 

  1. Mediasi bisa menghasilkan keputusan yang kompherensif dan bisa disesuaikan, dan keputusannya berlaku tanpa mengenal waktu.
  2. Tingkat pengendaliannya lebih besar dan hasilnya bias diduga dengan cepat.
  3. Individu yang berperkara lebih diberdayakan dan dengan argumentasinya.
  4. Mediasi bias melanggengkan hubungan yang berjalan dan/atau mengakhirinya dengan cara yang lebih ramah dan bijak.
  5. Keputusan yang dihasilkan dari mediasi bisa cepat dilaksanakan.
  6. Menghasilkan kesepakatan yang jauh lebih baik daripada menerima putusan yang bersifat menang atau kalah.
  7. Keputusannya berlaku tanpa mengenal waktu.[9]

 

Demikian semoga bermanfaat.

 

Baca juga artikel lainnya:

 

 

Dasar Hukum:

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
 

Referensi:

[1] Susanti Adi Nugroho, Manfaat Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, 148.

[2] Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

[3] Susanti Adi Nugroho, Manfaat Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, 149.

[4] Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 12-13.

[5] Susanti Adi Nugroho, Manfaat Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, 7.

[6] Ahmad Ali, Sosiologi Hukum; Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Penerbit Iblam, 2004), 24-25.

[7] Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

[8] Gatot Soemartono, Arbritase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 139-140.

[9] Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2006), 15.

Admin RA

09 November 2022

Sewa-Menyewa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Sewa menyewa berarti memberikan manfaat benda kepada orang lain dalam waktu tertentu dengan suatu pengganti pembayaran.

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang baik yang tetap maupun bergerak.

 

Dalam suatu perjanjian akan dianggap sah apabila perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata :

 

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu;
  4. sebab yang halal

 

Sewa menyewa dilakukan secara tertulis ataupun lisan.

 

Perjanjian sewa menyewa secara tertulis diatur dalam pasal 1570 KUHPerdata menegaksan bahwa :

 

“jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu akan berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian itu.”

 

dengan adanya suatu perjanjian yang tertuang dalam tulisan, akan memberikan nilai lebih yang dapat memberi rasa aman terhadap pihak baik pemeri sewa ataupun penyewa barang tersebut.

 

dalam perjanjian tertulis yang sah, para pihak dapat mencantumkan hak dan kewajiban parah pihak, masa sewa, dan harga sewa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak

 

Baca juga : Apakah Perjanjian Tidak Sah Tanpa Dibubuhi Materai? Begini Penjelasan Hukumnya!

 

Sewa menyewa secara lisan diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : 

 

“jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”

 

Perjanjian secara lisan dianggap cukup berisiko, hal itu karena perjanjian secara lisan rentan terhadap akan timbulnya kerugian terhadap para pihak Ketika terjadi adanya permasalahan yang timbul dalam sewa menyewa.

 

Kewajiban Pihak Pemilik dan Penyewa

 

Kewajiban Pihak yang menyewakan Pasal 1550 KUHPerdata menyatakan bahwa Pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib untuk :

 

  1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;
  2. Memelihara barang itu sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud;
  3. Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa.

Kewajiban penyewa 1560 harus menepati dua janji utama :

 

  1. Untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak-rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut persetujuan sewanya, atau jika tidak ada suatu persetujuan mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubunga dengan keadaan.
  2. Untuk membaya harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Tanggung jawab penyewa Pasal 1564 KUHPerdata :

 

“Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi diluar kesalahannya.”

 

secara tegas bahwa KUHPerdata mengatur bahwa penyewa harus bertanggung jawab apabila dalam masa sewa barang tersebut terjadi kerusakan.  namun, apabila jika memang kerusakan yang timbul bukan diakibatkan oleh penyewa dan dapat dibuktikan, maka penyewa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan benda tersebut. 

 

 

demikian, semoga bermanfaat.

 

 

 

 

Dasar Hukum : 

Kitab Udang-Undang Hukum Perdata

Admin LR

08 November 2022

Jerat Hukum bagi Orang yang Mengunduh dan Menyebarluaskan Video Porno

Video pornografi merupakan salah satu konten pornografi, yang mana konten tersebut adalah konten yang biasanya terdapat pada situs-situs tertentu atau situs dewasa. 

 

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi / UU Pornografi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.[1]

 

Dikutip dari hukumonline.com bahwasannya terkait dengan seseorang menonton video porno, bahwa tidak ada peraturan yang “melarang”, namun sejatinya konten yang berbau seks, salah satunya video porno, adalah tabu bagi masyarakat karena bertentangan dengan norma kesusilaan.[2]

 

Apakah ada larangan dan batasan terkait pornografi?

 

UU Pornografi terdapat sejumlah aturan terkait dengan larangan dan pembatasan terkait pornografi antara lain:

Pada Pasal 4 UU Pornografi, yaitu:

  1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspro, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; Kekerasan seksual; Masturbasi atau onani; Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; Alat kelamin; atau Pornografis anak.
  2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; Menyajikan secara eksplisit alat kelamin; Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual[3]

Kemudian disusul beberapa larangan dan batasan lainnya yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 UU Pornografi yaitu dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi; dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi; dilarang mendanai atau memfasilitasi pornografi, dilarang menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi; dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi; dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya; dan dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk/jasa pornografi.[4]

 

Baca juga artikel terkait: Mengenal Bentuk Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS

 

Bagaimana jerat hukum terhadap orang yang menyebarluaskan dan mengunduh video porno?

 

Pasal 5 UU Pornografi menjelaskan bahwa setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).[5]

 

Ancaman pidananya tertuang dalam Pasal 31 UU Pornografi yang menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”[6]

 

Lebih lanjut Pasal 32 UU Pornografi menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”[7]

 

Kemudian terkait dengan orang yang menyebarluaskan video porno sudah jelas dilarang, hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya.

 

Ancaman pidananya terhadap orang yang menyebarluaskan video porno yaitu tertuang dalam Pasal 29 UU Pornografi, yaitu:

 

“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”[8]

 

Baca juga artikel terkait: Akibat Hukum Suami Tidak Memberikan Nafkah Lahir dan Batin Terhadap  Istrinya

 

Apakah Menyimpan Video Porno Untuk Kepentingan Pribadi Kena Jerat Pidana?

 

Mengenai apakah menyimpan video porno untuk dirinya sendiri atau kepentingan pribadi kena jerat pidana atau tidak, Pasal 6 UU Pornografi menjelaskan bahwasannya:

 

“Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.”[9]

 

Pasal tersebut secara umum memang melarang setiap orang untuk memiliki atau menyimpan hal yang berbau pornografi termasuk salah satunya video porno, namun dalam Penjelasan Pasal 6 UU Pornografi larangan ini tidak berlaku untuk kepentingan pribadi atau kepentingan sendiri.[10]

 

Dengan kata lain, jika seseorang menonton video porno dan menyimpan video yang termasuk kategori pornografi, maka orang tersebut tidak dapat dipidana atas pelanggaran Pasal 6 UU Pornografi. Namun, hal ini berlaku selama ia hanya menonton video porno dan menyimpan konten tontonannya untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingannya sendiri.

 

Demikian, Semoga Bermanfaat.

 

 

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

 


Referensi:

[1] Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang 2008 tentang Pornografi.

[2] https://www.hukumonline.com/berita/a/jerat-hukum-mendownload-dan-menyebarluaskan-video-porno-lt62d4fe3d4888d?page=2

[3] Pasal 4, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[4] Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[5] Pasal 5, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[6] Pasal 31, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[7] Pasal 32, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[8] Pasal 29, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[9] Pasal 6, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

[10] Penjelasan Pasal 6, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Admin RA

07 November 2022

Akibat Hukum Suami Tidak Memberikan Nafkah Lahir dan Batin Terhadap Istri

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 menjelaskan bahwasannya Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

 

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menyebutkan bahwa Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.[2]

 

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin yang sah antara seorang pria dan wanita yang diakui menurut hukum baik hukum islam maupun hukum positif yang mana tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, sekaligus mentaati perintah-Nya dan melaksanakannya adalah ibadah.

 

Ketika telah terjadinya pernikahan/perkawinan yang sah antara seorang pria dan seorang wanita maka akan menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara suami dan istri.[3]

 

Sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa suami istri memikil kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendir dasar dan susunan masyarakat.[4] Kemudian, Pasal 77 ayat (2) suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada orang lain.[5]

 

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan juga bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.[6] Dan dalam Pasal 33 suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.[7]

 

Baca juga artikel terkait: Ancaman Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

 

Sehingga hal tersebut sudah jelas suami dan istri yang sudah melakukan ikatan perkawinan yang sah memiliki hak dan kewajibannya masing-masing yang mana satu sama lain harus memenuhi hak dan kewajibannya sebagai suami dan istri.

 

Bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin?

Mengenai bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, tentunya hal tersebut suami sudah melalaikan kewajibannya sebagai suami.

 

Sebagaimana Pasal 34 UU Perkawinan ketika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.[8] Bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan juga bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.[9]

 

Jadi sudah jelas bahwa apabila suami melalaikan kewajibannya seperti salah satunya adalah tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin, maka si istri dapat melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan yang berwenang.

 

Apakah ada sanksi pidana apabila suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri?

Dalam hal si suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, dalam hukum pidana termasuk ke dalam penelantaran dalam rumah tangga.

 

Baca juga artikel terkait: Hal Penting Yang Perlu Diperhatikan Dalam Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan

 

Perbuatan penelantaran rumah tangga tentunya dilarang menurut Undang-undang, hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 yaitu:

 

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengam cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.”[10]

 

Pelaku yang melakukan perbuatan penelantaran rumah tangga seperti tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang di dalam lingkup rumah tangga dan mengakibatkan ketergantungan ekonomi karena ada batasan atau larangan untuk bekerja baik di dalam maupun di luar lingkup rumah tangga sehingga korban di bawah kendali orang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15 juta.[11]

 

Sekian dan Terimakasih


Dasar hukum:

1.  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

[1] Pasal 1, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[2] Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam.

[3] Pasal 77, Kompilasi Hukum Islam.

[4] Pasak 77 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam.

[5] Pasal 77 ayat (2), Kompilasi Hukum Islam.

[6] Pasal 30, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[7] Pasal 33, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[8] Pasal 34, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[9] Pasal 77, Kompilasi Hukum Islam.

[10] Pasal 5, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[11] Pasal 49, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Admin RA

26 Oktober 2022

Larangan Penyalahgunaan Data Pribadi Menurut UU Perlindungan Data Pribadi

Data Pribadi merupakan hal yang sangat melekat pada setiap orang. Oleh karena itu perlunya perlindungan karena Data Pribadi  bersifat sensitif dan privasi. 

 

Sejalan dengan hal itu, amanat dari Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

 

 "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."

 

Pada tanggal 17 Oktober 2022, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang terdiri dari 76 Pasal.

 

Undang-Undang tersebut berlaku untuk setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU PDP. Selain itu didalamnya juga mengatur mengenai ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan Data Pribadi.

 

Jenis Data Pribadi 

 

Pengertian mengenai Data Pribadi tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) yang menjelaskan bahwa : 

 

"Data Pribadi adalah data tentang  orang perorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung 

melalui sistem elektronik atau nonelektronik."

 

Pasal 4 ayat (1) menerangkan bahwa Data Pribadi terdiri dari :

 

  1. Data Pribadi yang bersifat spesifik; dan
  2. Data Pribadi yang bersifat umum

 

Data Pribadi yang bersifat spesifik meliputi : data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, serta data lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 

Sedangkan Data Pribadi yang bersifat umum meliputi : nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, serta Data Pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.

 

Baca juga : Perbedaannya Antara Kejahatan Dengan Pelanggaran

 

Larangan dalam Penggunaan Data Pribadi 

 

Pasal 65 

  1. Setiap orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang dimilikinya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi.
  2. Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.
  3. Setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya.

 

Pasal 66

Setiap orang dilarang membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

 

Ketentuan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

 

Pasal 67 

  1. Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
  3. Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.00O.OOO.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 68

Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntrrngkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 .tipidana dengan pidana penjara paling tama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.0OO. 000.000,00 (enam miliar rupiah).

 

Selain dijatuhi hukuman pidana, dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.

 

 

 

Dasar Hukum 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

Admin LR

21 Oktober 2022

Debitur atau Konsumen Dapat Membatalkan Proses Lelang Hak Tanggungan, Ini Alasannya !

Kredit atau pinjaman merupakan pendanaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan pihak kreditor (pihak pemberi pinjaman) dan debitor (pihak penerima pinjaman) dalam jangka waktu tertentu disertai dengan suatu jaminan sebagai keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya.

 

Dalam hukum perdata, suatu jaminan dapat berupa benda bergerak atau tidak bergerak, benda yang didirikan dan/atau melekat diatas alas milik orang lain, serta benda berupa hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.

 

Hak Tanggungan Sebagai Objek Lelang

 

Definisi Hak Tanggungan terdapat pada Pasal 1 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menjelaskan bahwa :

 

“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

 

Jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui  pelelangan tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain

 

Definisi lelang

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, menyebutkan bahwa “Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang di dahului oleh Pengumuman Lelang.”

 

Dilansir dari kompas.com,[1] pengertian lelang dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia dalam terjemahan teks asli Art. 1 Vendu Reglement Stbl. 1908-189, yang menyatakan :

 

“Lelang atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diizinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukan harga dalam tertutup.”

 

Baca juga : Mengenal Jenis-Jenis Pihak Intervensi Dalam Perkara Perdata

 

Jenis-Jenis Lelang

 

Merujuk pada Permenkeu No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, jenis lelang terdiri dari : 

  1. Lelang Eksekusi adalah Lelang untuk melaksanakan putusn atau penatapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Lelang Noneksekusi Wajib adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan melalui Lelang.
  3. Lelang Noneksekusi Sukarela adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik swasta, perorangan atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.

Dalam ketentuan pasal 3 huruf e Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 menyatakan bahwa Hak Tanggungan termasuk dalam kategori Lelang Eksekusi.

 

Pembatalan Lelang

 

Lelang yang akan dilaksanakan dapat dibatalkan oleh Pejabat Lelang berdasarkan atas dasar permintaan penjual, penetapan atau putusan dari Lembaga peradilan, atau hal lainnya karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 27 ayat (1) dan  ayat (2)  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menyatakan bahwa :

 

  1. Dalam hal sebelum pelaksanaan lelang tehadap objek Hak Tanggungan terdapat gugatan dari pihak lain selain debitor/pemilik jaminan dan/atau suami atau istri debitor/pemilik jaminan yang terkait kepemilikan objek yang akan di Lelang, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) tidak dapat dilaksanakan.
  2. Pihak lain selain debitor/pemilik jaminan dan/atau suami atau istri debitor/pemilik jaminan yang terkait kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
  3. Ahli waris yang sah, yang dalil gugatannya mengenai proses pemasangan hak tanggungan dilakukan setelah pewaris selaku pemilik jaminan meninggal dunia disertai bukti-bukti yang sah;
  4. Pihak lain yang memiliki dokumen kepemilikan selain dokumen kepemilikan yang diikat hak tanggungan;
  5. Pihak yang melakukan perjanjian/perikatan jual beli notariil sebelum pembebanan hak tanggungan.

Namun dalam praktiknya, debitor/pemilik jaminan dapat mengajukan gugatan terhadap objek lelang, karena pada dasarnya pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan. Gugatan dapat dilakukan sebelum pelaksanaan lelang maupun setelah lelang dilakukan. 

 

 

 

 

Dasar hukum

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang


Referensi

[1] https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2022/03/08/060000980/mau-beli-rumah-lelang-sitaan-bank-simak-aturan-dan-prosedurnya?page=all

Admin LR

20 Oktober 2022

Mengenal Jenis-Jenis Pihak Intervensi dalam Perkara Perdata

Oleh: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Pada umumnya dalam perkara perdata terdapat pihak penggugat dan tergugat. Namun dalam perkara perdata khususnya dalam hukum acara perdata adakalanya terdapat pihak intervensi dalam perkara tersebut yang menyebabkan perkara tersebut terdapat pihak ketiga.

 

Baca juga artikel terkait: Hal Penting yang Perlu Diperhatikan dalam Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan

 

Pihak Intervensi menurut Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata, menjelaskan bahwa intervensi adalah ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri, maupun karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggung dalam pemeriksaan sengketa perkara.[1]

 

Pihak selain penggugat dan tergugat tersebut disebut sebagai pihak intervensi. Pihak intervensi atau pihak ketiga dalam hukum acara perdata tidak diatur dalam HIR maupun RBG, untuk mengisi kekosongan hukum maka dipedomani ketentuan Reglement op de Rechtsvordering (Rv).[2]

 

Berkaitan dengan hal itu, pihak intervensi diatur dalam Pasal 279 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yaitu:

Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain, dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan”.[3]

 

Baca juga artikel terkait: Perbedaan Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima

 

Dalam jurnalnya Caroline Maria M dan Harjono, Studi Kajian Tentang Gugatan Intervensi Dalam Perkara Perdata. Menerangkan bahwa keikutsertaan pihak ketiga tersebut bisa didasarkan atas prakarsa sendiri ataupun ditarik oleh salah satu pihak yang berperkara agar ikut dalam pemeriksaan sengketa perkara perdata tersebut sebagai pihak yang intervensi.[4]

 

Dalam jurnal Caroline Maria M dan Harjono menerangkan bahwa dalam Hukum Acara Perdata terdapat 3 (tiga) jenis intervensi, yaitu:

 

Voegingyaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara dengan mendukung salah satu pihak penggugat atau tergugat. Ikut sertanya pihak ketiga merupakan keinginan dari pihak ketiga sendiri.

 

Vrijwaring, yaitu ikut sertanya pihak ketiga ke dalam pemeriksaan perkara karena ditarik oleh salah satu pihak yang sedang berperkara. Fungsi ditariknya pihak ketiga sebagai pihak berperkara adalah sebagai penjamin bagi pihak yang berperkara.

 

Tussenkomst, ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatifnya sendiri dalam pemeriksaan perkara, akan tetapi tidak memihak kepada salah satu pihak baik penggugat maupun tergugat, namun untuk membela kepentingannya sendiri.[5]

 

Demikian, semoga bermanfaat. 


 

Dasar Hukum:

Reglement op de Rechtsvordering (Rv)

 

Referensi:

[1] https://www.hukumonline.com/klinik/a/jenis-jenis-intervensi-pihak-ketiga-dalam-perkara-perdata-lt5ed0bc1be48c4.

[2] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Penyitaan, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

[3] Pasal 279, Reglement op de Rechtsvordering (Rv).

[4] Caroline Maria M dan Harjono, Studi Kajian Tentang Gugatan Intervensi Dalam Perkara Perdata, Jurnal Verstek, Volume 8-Nomor 1. 2020.

[5] Caroline Maria M dan Harjono, Studi Kajian Tentang Gugatan Intervensi Dalam Perkara Perdata, Jurnal Verstek, Volume 8-Nomor 1. 2020.

Admin RA

19 Oktober 2022

Vandalisme Sebagai Tindak Pidana

Perbuatan vandalisme merupakan tindakan merusak berbagai obyek lingkungan , baik properti milik pribadi maupun fasilitas umum yang dapat menimbulkan kerugian baik secara materil maupun imateril.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia vandalisme diartikan sebagai perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya) atau pengrusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

 

Vandalisme terikat dari sifat/perbuatan yang dilakukan setiap individu, baik secara kognitif (terkait suatu hal yang diyakini pelaku vandalisme), secara affective (terkait sifat emosi yang dimiliki pelaku vandalisme), serta aspek conative (terkait sikap yang ditunjukkan tiap individu)[1]

 

Melansir dari kajianpustaka.com, berdasarkan bentuk kegiatan atau aktivitas yang dilakukan, vandalisme dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :[2]

 

  1. Aksi mencorat-coret (graffiti). Aksi mencoret-coret-coret grafiti seperti tembok pinggir jalan, tembok sekolah, jembatan, halte bus, bangunan, telepon umum, WC umum, dan sebagainya. 
  2. Aksi memotong (cutting). Aksi Memotong seperti memotong pohon, memotong tanaman memotong bunga yang di jumpai para remaja. Dari memotong pohon, memotong tanaman para remaja banyak memakai alasan. 
  3. Aksi memetik (pluking). Memetik bunga dan memetik buah milik orang lain tanpa meminta ijin dari pemiliknya. 
  4. Aksi mengambil (taking). Aksi mengambil barang milik orang lain, mengambil tanaman, dan sebagainya meskipun barang milik orang lain tersebut tidak berguna untuk di miliki remaja tersebut.
  5. Aksi merusak (destroying). Aksi merusak penataan lingkungan yang sudah tersusun rapi dari orang lain, misalnya mendongkel pintu rumah orang lain, memindahkan tanaman milik orang lain, membuang sampah di sembarang tempat seperti membuang sampah di jalan raya dan sungai.

Baca juga : Mengenal Pembebasan Bersyarat dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

 

Ketentuan Hukum Perbuatan Vandalisme

 

Dalam segi ketentuan hukum Pidana, ketentuan hukum mengenai tindak perbuatan vandalisme diatur dalam beberapa Pasal. Diantarnaya :

Pasal 406 ayat 1 

 

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

 

Pasal 408 KUHP

 

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dipakai bangunan-bangunan kereta api trem, telegrap, telepon, telepon atau listrik, atau bangunan bangunan untuk membendung, membagi atau menyalurkan air, saluran gas, air atau saluran yang digunakan untuk keperluan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

 

Pasal 489 KUHP

 

“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.”

 

Dalam hal apabila hal tersebut dilakukan lebih dari satu orang atau dilakukan secara bersama-sama, maka dapat dikenakan Pasal 170 ayat (1) KUHP :

 

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun tahun enam bulan.”

 

Selain ketentuan pidana, perbuatan vandalisme juga dapat ditinjau dari segi hukum perdata, yaitu atas dasar Perbuatan Melawan Hukum yang tertuang dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

 

 

 

 

Sumber Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

Referensi

[1] Ilham Nur Muhammad, Neneng Komariah Dan Nuning Kurniasih. “Tindakan Vandalism Di

Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran”. Jurnal Kajian Informasi &

Perpustakaan 7, No. 1, 2019

[2] https://www.kajianpustaka.com/2022/06/blog-post.html

Admin LR

18 Oktober 2022

Mengenal Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan

Definis Surat Dakwaan

 

Surat dakwaan merupakan suatu akta yang dikenal dalam proses penuntutan perkara pidana dan merupakan bagian dari hukum acara pidana.

 

Surat dakwaan adalah surat yang dibuat oleh jaksa berdasarkan BAP yang dilakukan oleh penyidik yang memuat rincian rumusan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dijadikan dasar pemeriksaan dalam sidang.

 

Penuntut umum membuat surat dakawaan setelah menerima berkas perkara dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. 

 

Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 140 ayat 1 Nomor Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa: 

 

“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”

 

Fungsi Surat Dakwaan

 

Fungsi dari surat dakwaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori:[1]

  1. Bagi pengadilan atau hakim: sebagai dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan dan menjadi dasar petimbangan dalam penjatuhan keputusan.
  2. Bagi penuntut umum: sebagai dasar pembuktian atau analisis yuridis, tuntutan pidana, dan penggunaan upaya hukum.
  3. Bagi terdakwa: sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

Syarat-Syarat Surat Dakwaan

 

Pasal 143 ayat (2) KUHAP, Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

  1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka
  2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Menurut  Pasal 143  KUHAP,  surat dakwaan mempunyai   dua   syarat  yang   harus   dipenuhi yaitu:[2]

 

1. Syarat Formil

Syarat formil diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP yang mencakup: (1) Diberi tanggal (2) Memuat    identitas   terdakwa    secara lengkap  yang meliputi  nama  lengkap, tempat  lahir, umur/tanggal  lahir,  jenis kelamin,   kebangsaan,  tempat   tinggal, agama, dan pekerjaan. (3) Ditandatangani oleh Penuntut Umum

 

2. Syarat Materiil

Bahwa menurut Pasal 143 ayat (2) b KUHAP, surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana  yang  dilakukan, dengan  menyebut waktu (tempos  delicti)  dan tempat  tindak pidana  itu dilakukan (locus  delicti).

 

Baca juga : Jerat Pidana Terhadap Pelaku Obstruction of Justice  Dalam Proses Penegakkan Hukum

 

Aristo M.A Pangaribuan Dkk dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia” memaparkan tentang apa saja yang tercantum dalam unsur materiil surat dakwaan. Yaitu sebagai berikut:[3]

  1. Tindak pidana apa yang dilakukan oleh terdakwa.
  2. Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.
  3. Dimana tindak pidana tersebut dilakukan (locus delicti).
  4. Bilamana/kapan tindak pidana tersebut dilakukan (tempus delicti).
  5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan.
  6. Apa yang diakibatkan dari terjadinya tindak pidana tersebut.
  7. Apa yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.
  8. Ketentuan-ketentuan/undang-undang pidana mana yang terapkan.

Selanjutnya pada Pasal 143 ayat (3) menyataka bahwa “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.”

 

Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan Jaksa

 

Menurut bentuknya surat dakwaan terbagi menjadi :[4]

 

1. Surat Dakwaan Tunggal

 

Surat dakwaan tunggal merupakan surat dakwaan yang pembuatannya paling ringan dibandingkan dengan bentuk surat dakwaan yang lainnya. Surat dakwaan ini dibuat oleh jaksa yang apabila jaksa telah meyakini bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat didakwa cukup dengan satu jenis tindak pidana, melakukan tindak pidana, pelanggaran atau melakukan perbuatan berlanjut.

Contoh: pencurian

 

2. Surat Dakwaan Kumulatif

 

Surat dakwaan kumulatif merupakan surat dakwaan yang dibuat apabila seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana, dimana antara satu tindak pidana berbeda dengan tindak pidana yang lainnya atau bisa dikatakan tidak ada beberapa tindak pidana tersebut tidak ada hubungan. Dalam surat dakwaan ini beberapa tindak pidana tersebut hanya dikenai satu hukuman pidana sehingga meringankan hukuman yang akan dijatuhkan akan tetapi dalam hal ini beberapa tindak pidana tersebut harus dibuktikan satu persatu. Surat dakwaan kumulatif dibuat apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang tergolong kategori tindak pidana perbarengan. Surat dakwaan komulatif identik dengan kata “dan” atau “Kesatu-Kedua”.

Contoh : seseorang melakukan 2 tindak pidana yang locus dan tempusnya berbeda yaitu penganiayaan (pasal 351 ayat (1) KUHP) dan melakukan tipu muslihat (pasal 378 KUHP).

 

3. Surat Dakwaan Alternatif

 

Surat dakwaan alternatif merupakan surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa yang menuduhka seseorang telah melakukan dua tindak pidana atau lebih yang mana dalam surat dakwaan alternatif dua tindak pidana tersebut saling mengecualikan. Artinya tindak pidana tersebut akan didakwa satu tindak pidana tetapi dalam pembuatannya jaksa merasa ragu tindak pidana mana yang tepat untuk dijatuhi dakwaan. Sehingga jaksa dan hakim bebas memilih salah satu dakwaan. Surat dakwaan alternatif identik dengan kata “Atau”.

Contoh : seseorang melakukan pencurian (dengan maksud dimiliki secara melawan hukum) pasal 362 KUHP Atau melakuan penggelapan (memiliki barang seluruh atau sebagian milik orang lain yang dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan) pasal 372 KUHP

 

4. Surat Dakwaan Primer-Subsidair

 

Surat dakwaan primer-subsider merupakan surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa secara bertingkat sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dimulai dari tindak pidana terberat sampai dengan tindak pidana teringan. Meskipun surat dakwaan alternatif dan surat dakwaan primer-subsidair sama terdapat beberapa tindak pidana akan tetapi surat dakwaan primer-subsidair tidak secara bebas memilih tindak pidana mana yang akan dijatuhi pidana melainkan membuktikan satu persatu. Apabila dakwaan primer tidak terbukti barulah jaksa memeriksa dakwaan subsidair. Diantara tindak pidana yang didakwakan secara bertingkat hakim hanya dapat menjatuhkan satu pidana kepada terdakwa.

Contoh:

Dakwaan primer: percobaan perkosaan, diancam maksimal 12 tahun penjara dikurangi sepertiga (pasal 285 jo 53 KUHP)

Dakwaan subsidair: perkosaan perbuatan cabul, diancam maksimal 9 tahun penjara (pasal 289 KUHP)

 

5.Surat Dakwaan Campuran

 

Surat dakwaan campuran merupakan surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa karena sulitnya membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan dalam praktik penuntutan agar terdakwa tidak mudah bebas dari dakwaan.

Bentuk surat dakwaan campuran, yaitu:

 

  • Kumulatif-subsidair
  • Kumulatif-alternatif
  • Subsidair-kumulatif

 


 

 

Dasar Hukum

Nomor Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

 

[1] https://www.hukumonline.com/berita/a/pengertian-surat-dakwaan-dan-jenisnya-lt621a08dfef9da

[2] Dahriyanto Imani, “Akibat Hukum Jika Surat Dakwaan Dinyatakan Obscuur Libel Oleh Hakim”, Lex Crimen,Vol V/No. 5/Jul/2016

[3] https://heylawedu.id/blog/jenis-jenis-surat-dakwaan

[4] https://menuruthukum.com/2020/03/20/bentuk-bentuk-surat-dakwaan/

Admin LR

17 Oktober 2022

Alasan Kenapa Narkotika Tidak Boleh Asal Sembarangan Digunakan, Kenali Aspek Hukumnya!

Permasalahan narkotika bukanlah permasalahan yang baru di negara Indonesia dan sampai pada saat ini kasus penyalahgunaan narkotika terus diberantas. Hal tersebut dikarenakan selain narkotika dilarang di negara Indonesia, melainkan narkotika memiliki dampak adiktif yang mengakibatkan si penyalahguna menjadi terus menerus (candu) untuk mengkonsumsi narkotika.

 

Kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia apabila tidak diberantas tentunya akan memiliki dampak yang buruk, bagaimana tidak penyalahguna narkotika di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan anak remaja yang merupakan generasi penerus bangsa dan aset negara. Sangatlah berdampak buruk apabila kasus penyalahguna narkotika ini dibiarkan menggunung.

 

Narkotika sendiri menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika / UU Narkotika menyebutkan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sitetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.[1]

 

Baca Juga Berita Terkait: Isu Narkoba Pejabat Polri

 

Selain definisi narkotika di atas, narkotika sendiri memiliki golongan-golongannya, yaitu golongan I, II, dan III.[2]

 

Alasan mengapa kasus penyalahguna narkotika harus diberantas selain karena narkotika memiliki sifat adiktif dan menimbulkan beberapa efek seperti perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi rasa nyeri. Narkotika sudah diatur dalam Pasal 7 UU Narkotika bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[3] 

 

Sehingga penggunaan narkotika selain apa yang dimaksud dalam Pasal 7 UU Narkotika di atas maka dikategorikan sebagai penyalahgunaan narkotika.

 

Baca Juga Berita Terkait: Kapolda Jatim Jadi Tersangka Narkoba

 

UU Narkotika mengatur segala hal yang berkaitan dengan narkotika, karena memiliki tujuan:

  1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;
  3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan
  4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.[4]

Demikian sudahlah jelas penggunaan narkotika itu tidaklah asal sembarangan digunakan, karena sudah ada aturan perundang-undangannya.

 

Semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika


Sumber Referensi:

[1] Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[2] Pasal 6 ayat (1), Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[3] Pasal 7, Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[4] Pasal 4, Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Admin RA

15 Oktober 2022

Dasar Hukum Pencabutan Laporan atas Delik Aduan di Kepolisian

Dasar Hukum Pencabutan Laporan atas Delik Aduan di Kepolisian

 

Pasal 75 KUHP berbunyi :

 

“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengajuan diajukan

 

Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa adanya batas waktu 3 bulan untuk menarik kembali aduan, apabila lebih dari batas waktu yang telah ditentukan, pengaduan tersebut tidak dapat dicabut kembali.

 

Tetapi Mahkamah Agung (“MA”) memperbolehkan pencabutan pengaduan yang tak memenuhi syarat itu melalui putusan No. 1600 K/Pid/2009. Dalam putusan tersebut, MA berargumen bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, MA menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. MA mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.[1]

 

Seseorang dapat mencabut laporan (pelapor) selama ia berkeinginan sendiri untuk membatalkan pengaduan tersebut tanpa adanya suatu paksaan, maka penegak hukum harus menghormati haknya. Tetapi jika pencabutan tersebut atas dasar paksaan, maka hal ini sudah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pencabutan laporan hanya bisa dilakukan jika kasus tersebut masih berada pada tahap proses peradilan, seperti proses pemeriksaan, pemeriksaan berkas perkara, dan pemeriksaan dimuka persidangan. Jika proses persidangan telah selesai, maka laporan tersebut tidak dapat lagi dicabut.

Prosedur pencabutan laporan dapat dilakukan dengan mengatakan secara langsung atau mengajukan surat pernyataan pembatalan kepada pihak penegak hukum bahwa pelapor (korban) tidak ingin melanjutkan tuntutannya.

 

Baca juga : Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasa Dalam Rumah Tangga

 

Tetapi harus di ingat, pencabutan laporan hanya berlaku pada proses perkara pidana yang sifatnya delik aduan. Sebaliknya jika perkara-perkara yang tergolong delik biasa, perkara tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dicabut meskipun telah ada perdamaian dengan korban.

 

Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan

 

Delik Biasa

Dalam delik biasa, perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, meskipun korban atau pelapor telah mencabut laporannya kepada pihak Kepolisian, Kepolisian tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. Contoh delik laporan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) misalnya delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP), penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan lain-lain.

 

Delik Aduan

Dalam delik aduan, perkara tersebut hanya dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Contoh delik aduan misalnya perzinahan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), fitnah (Pasal 311 KUHP) dan penggelapan/pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP). Karena sifat delik ini adalah berdasarkan aduan dari pihak yang dirugikan, maka hanya yang memasukkan aduan yang memiliki hak untuk mencabutnya dalam tempo tiga bulan sejak hari ia memaksukkannya.[2]

 

 

 

 

 

 

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Putusan Mahkamah Agung No. 1600/K/Pid/2009


Sumber

[1] https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2021/05/25/dasar-hukum-jika-ingin-mencabut-laporan-polisi-2/

[2] https://www.hukumonline.com/klinik/a/langkah-mencabut-pengaduan-tindak-pidana-di-kepolisian-lt5ba5251d6551c

Admin LR

14 Oktober 2022

Mengenal Bentuk Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS

Kekerasan seksual merupakan isu hukum yang memang sudah lama menjadi perbincangan masyarakat Indonesia.[1] Bagaimana tidak, isu tersebut tentunya memiliki dampak yang tidak main-main terhadap korban khususnya. Pada isu hukum kekerasan seksual yang menjadi perbincangan di tengah masyarakat, lebih banyak kaum perempuan yang mengalami korban kekerasan seksual, dibandingkan kaum laki-laki.[2] Namun demikian dalam hal kekerasan seksual tidak melihat korban dari gender mana apakah kaum laki-laki ataupun perempuan.

 

Baca juga artikel terkait: Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

 

Beberapa bulan lalu tepatnya pada bulan April RUU PKS disahkan menjadi Undang-Undang, yaitu dikenal dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) / UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hal tersebut tentunya dikarenakan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sudah sangat serius dan melonjak, selain itu dampak dan pengaruh dari korban kekerasan seksual terhadap perempuan sangatlah besar entah dari segi fisik maupun psikologis. 

 

Kekerasan seksual dalam UU TPKS termasuk ke dalam tindak pidana, yang mana dalam Pasal 1 ayat (1)  UU TPKS menyebutkan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.[3]

 

Baca juga artikel lain: Perbedaan Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima

 

UU TPKS ini lahir dilandasi atau berasaskan kepada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.[4]

 

Selain itu, pada Pasal 3 UU TPKS substansi dari UU TPKS bertujuan untuk:

  1. Mencegah segala bentuk kekerasan seksual;
  2. Menangani, melindungi, dan memulihkan korban;
  3. Melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku;
  4. Mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan
  5. Menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

 

Baca juga berita lain: Pakar Hukum Sebut Tuntutan Aremania Wajar dan Beralasan

 

Lalu apa saja bentuk-bentuk yang termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual menurut UU TPKS?

 

Bentuk-bentuk tindak pidana kekerasan seksual menurut UU TPKS tertuang dalam Pasal 4 UU TPKS yang mana terdiri atas pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.[5] Perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak (perbuatan cabul terhadap anak dan/ eksploitasi seksuak terhadap anak), perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pronografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang (ditujukan eksploitasi seksual), kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang asal tindakan awalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.[6]

 

Demikian, semoga bermanfaat

 


Dasar hukum:

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

 

Referensi:

[1]Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono, "Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelecehan Seksual," Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4, (2005), hlm. 61.

[2] Ni Nyoman Juwita Arsawati, AAA. Ngr. Tini Rusmini Gorda, “Kekerasan Seksual Akibat Ketimpangan Gender”, Jurnal Legislasi Indonesia 16 (Juni 2019), hlm, 238.

[3] Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

[4] Pasal 2, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

[5] Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

[6] Pasal 4 ayat (2), Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Admin RA

12 Oktober 2022

Perbedaan Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima

Dalam hukum acara perdata terdapat beberapa istilah yang mungkin sudah sering didengar khususnya terkait dengan putusan pengadilan. Dalam hukum acara perdata, putusan pengadilan dapat berupa 3 hal, yaitu:

 

Gugatan dikabulkan

Menurut M. Yahya Harahap, dikabulkannya suatu gugatan adalah bila dalil gugatannya dapat dibuktikan oleh si penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)/Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR).

 

Gugatan Ditolak

Menurut M. Yahya Harahap maksud dari gugatan ditolak adalah bila si penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya. Akibat hukumnya ketika si penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka gugatan tersebut mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila gugatan yang diajukan oleh si penggugat dan si penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya terhadap si tergugat, maka gugatannya akan ditolak.

 

Baca juga artikel terkait: Bedanya Permohonan dan Gugatan

 

Gugatan Tidak Dapat Diterima

Gugatan tidak dapat diterima maksudnya adalah gugatan yang dilayangkan mengandung cacat formil, seperti error in persona, obscur libel, tidak berdasarkan kompetensi absolut atau relatif. Hal tersebut pun dijelaskan menurut M. Yahya Harahap terkait dengan cacat formil, bahwa terdapat berbagai cacat formil yang mungkin melekat dalam gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996, gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium, mengandung cacat obscur libel, atau melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya.

 

Dengan begitu secara sederhana dapat disimpulkan perbedaan ketiganya yaitu gugatan dikabulkan apabila dalil gugatannya dapat dibuktikan, gugatan ditolak apabila penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, dan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatannya mengandung cacat formil.

 

Demikan, semoga bermanfaat.

 

Baca juga:

 

 

 

Dasar hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  • Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
  • Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1996.

 

Sumber bacaan

  • M. yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Admin RA

10 Oktober 2022

Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah kasus yang baru, namun tentunya kasus tersebut terjadi dilingkungan rumah tangga dan orang yang menjadi korban pada umumnya adalah perempuan.

 

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut UU No 23 Tahun 2004  tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1]

 

Undang-Undang KDRT sebetulnya sudah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hal ini diatur dalam Pasal 5 UU KDRT yaitu setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

  1. Kekerasan fisik;
  2. Kekerasan psikis;
  3. Kekerasan seksual; atau
  4. Penelantaran rumah tangga.[2]

Lalu siapa yang dapat melaporkan tindakan KDRT tersebut? Dalam Pasal 26 ayat UU KDRT menjelaskan bahwasannya korban berhak untuk melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Dan Korban juga dapat memberikan kuasanya kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian.[3]

 

Baca juga artikel: Sanksi  Bagi Pelaku Yang Melakukan Balapan Liar Di Jalanan 

 

Ancaman Pidana Pelaku KDRT

Tindakan KDRT selain memang dilarang dan diatur menurut UU KDRT, tentunya tindakan KDRT juga terdapat ancaman sanksi hukum bagi setiap orang yang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga tersebut, yaitu sebagai berikut:

  1. Pelaku yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15 juta. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, maka dipidana paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30 Juta. Namun, dalam hal perbuatan tersebut yang mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat lalu mengakibatkan kematian terhadap korban, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama (15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45 juta. Dan sebaliknya apabila perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan perkejaannya baik pekerjaan jabatan, mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5 juta.[4]
  2. Pelaku yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9 juta. kemudian dalam hal perbuatan tersebut yang dilakukan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan, mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3 juta.[5]
  3. Pelaku yang melakukan perbuatan kekerasan seksual di lingkup rumah tangga dengan pemaksaan hubungan seksual dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36 juta. Dalam hal pelaku yang melakukan perbuatan kekerasan seksual di lingkup rumah tangga dengan memaksa hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil maupun tujuan tertentu dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun atau denda paling sedikit Rp. 12 juta atau denda paling banyak Rp. 300 juta. Kemudian apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka yang tidak ada harapan sembuh sama sekali, gangguan daya pikir (kejiwaan) sekurangnya selama 4 (empat) minggi terus menerus atau 1 (satu) tahun berturut, gugur atau matinya janin, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25 juta dan denda paling banyak Rp. 500 juta.[6]
  4. Pelaku yang melakukan perbuatan penelantaran rumah tangga seperti tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang di dalam lingkup rumah tangga dan mengakibatkan ketergantungan ekonomi karena ada batasan atau larangan untuk bekerja baik di dalam maupun di luar lingkup rumah tangga sehingga korban di bawah kendali orang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15 juta.[7]

Selain ancaman hukuman bagi pelaku KDRT seperti di atas, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan.[8]

 

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat.

 

 

 

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 


Sumber Referensi:

[1] Pasal 1, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[2] Pasal 5, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[3] Pasal 26 ayat 1-2, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[4] Pasal 44, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[5] Pasal 45, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[6] Pasal 46-48, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[7] Pasal 49, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[8] Pasal 50, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Admin LR

05 Oktober 2022

Sanksi Bagi Pelaku yang Melakukan Balapan Liar di Jalanan

Penulis  : Lutfi Ripaldi, S.H.

Editor    : Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Balapan motor liar merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja yang memang banyak meresahkan di kalangan masyarakat, hal ini dikarenakan balapan motor liar memiliki resiko yang tinggi dan dapat membahayakan orang lain. Hal ini dikarenakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh remaja tersebut dilakukan tanpa standar keamanan yang memadai, seperti penggunaan helm, jaket, sarung tangan, maupun kelengkapan sepeda motor lainnya yang tidak memenuhi standar nasional yang berlaku. Sehingga kegiatan balap motor liar dilarang.

 

Larangan balapan liar di jalan raya berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah jelas melarang pengemudi kendaraan bermotor berbalapan dengan kendaraan bermotor lainnya. Adapun peraturan yang melarang tersebut tertuang dalam Pasal 115 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), sebagai berikut:

 

Pengemudi kendaraan bermotor di jalan di larang:

  1. Mengemudikan kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau
  2. Berbalapan dengan kendaraan bermotor lain.[1]

Dari Pasal di atas, sudah jelas bahwa orang yang melakukan balapan motor liar adalah dilarang.

 

Ancaman Sanksi Hukum terhadap Pembalap Liar

 

Pasal 287 ayat 5 UU LLAJ 

“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”[2]

 

Pasal 297 UU LLAJ

“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor berbalapan di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).”[3]

 

Pasal 311 ayat 1 LLAJ

Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).[4]

 

Pasal 311 Ayat 2 UU LLAJ

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau dendapaling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah).[5]

 

Pasal 311 Ayat 3 UU LLAJ

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah).[6]

 

 

Baca Juga Artikel: Mengenal Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

 

 

Pasal 311 Ayat 4 UU LLAJ

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda palin banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).[7]

 

Pasal 311 Ayat 5 UU LLAJ

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).[8]

 

Pasal 274 ayat 1 UU LLAJ

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).[9]

 

Pasal 503 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

“Dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 225 barangsiapa membuat riuh atau ingar, sehingga pada malam hari waktunya orang tidur dapat terganggu.[10]

 

Alasan lain menurut undang-undang yang melarang balapan motor liar adalah karena pada umumnya orang yang melakukan balapan liar, kendaraan yang dipakai tidak memenuhi standar kriteria yang dibolehkan menurut undang-undang dan tidak sesuai dengan peraturan lalu lintas lainnya. Sehingga kegiatan balapan liar ini sudah menjadi sesuatu yang sangat rawan dalam mengganggu keamanan, kenyamanan, dan ketertiban baik di masyarakat dan khususnya dapat mengancam keselamatan pengguna jalan lainnya. Sehingga memerlukan tindakan dari pihak kepolisan untuk menindak aksi kegiatan tersebut.

 

 

Baca Juga Artikel: Penuhi Syarat Berikut Jika Anda Ingin Menjadi Advokat

 

 

Apakah Pihak Kepolisian berwenang dalam menindak pelaku pembalap motor liar?

 

Pihak kepolisian tentunya berwenang dalam menindak pelaku pembalap motor liar, hal ini karena polisi memiliki tugas pokok yang mana tertuang dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:

 

  1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
  2. Menegakkan hukum; dan
  3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[11]

Selain itu, dalam melaksanakan tugas pokok sebagai kepolisian negara republik indonesia juga lebih dijelaskan pada Pasal 14 ayat (1) Undag-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

 

  1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
  2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; 
  3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 
  4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 
  5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; 
  6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; 
  7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; 
  8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; 
  9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 
  10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; 
  11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; 
  12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[12]

Dengan begitu ketika kita melihat adanya kegiatan balapan liar yang dilakukan oleh sekelompok anak remaja atau orang dewasa di lingkungan kita, kita dapat mendatangi ke tempat kepolisian terdekat untuk menindak kegiatan tersebut guna mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  3. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Sumber Referensi:

[1] Pasal 115, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[2] Pasal 287 ayat 5, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[3] Pasal 297, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[4] Pasal 311 ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[5] Pasal 311 ayat 2, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[6] Pasal 311 ayat 3, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[7] Pasal 311 ayat 4, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[8] Pasal 311 ayat 5, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[9] Pasal 274 ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

[10] Pasal 503 ayat 1, KUHP.

[11] Pasal 13, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

[12] Pasal 14 ayat (1), Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Admin RA

03 Oktober 2022

Penuhi Syarat Berikut Jika Ingin Menjadi Seorang Advokat

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Advokat adalah salah satu profesi di bidang hukum yang sangat populer dikenal khususnya di kalangan para lulusan sarjana hukum. Karena pada kenyataannya Advokat menurut data yang diperoleh dari sejumlah sumber data yang ditemukan adalah profesi yang sangat populer diminati (favorit) oleh para kalangan lulusan sarjana hukum.

 

Advokat memiliki peran dan fungsinya sebagai advokat yang pada esensinya advokat adalah salah satu profesi hukum yang bergerak di bidang jasa hukum seperti memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan berbagai tindakan hukum yang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku untuk kepentingan hukum klien.

 

Sedangkan Advokat menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Advokat.[1]

 

Advokat juga disebut sebagai profesi yang mulia (officium nobile) karena selain membela hak-hak para pencari keadilan, Advokat juga berperan sebagai salah satu aparat penegakan hukum di Indonesia yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.[2] 

 

Untuk menjadi advokat tentunya para lulusan sarjana hukum harus melewati tahap demi tahap untuk menjadi seorang Advokat. Hal tersebut karena syarat-syarat untuk menjadi seorang Advokat sudah diatur dalam ketentuan Undang-Undang. 

 

Baca Juga Artikel Terkait: Mengenal Pembebasan Bersyarat dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

 

Berdasarkan Undang-Undang, untuk dapat menjadi seorang Advokat adalah sarjana dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), yang dilaksanakan oleh organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal akreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimalnya akreditasi B.[3]

 

Apakah syarat-syarat untuk menjadi seorang advokat?

Syarat-syarat untuk menjadi seorang advokat diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Berikut syarat-syarat untuk diangkat menjadi seorang Advokat:

  1. Warga negara Republik Indonesia;
  2. Bertempat tinggal di Indonesia;
  3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. Berijazah sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1);
  6. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  9. Berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.[4]

Selain syarat-syarat di atas telah terpenuhi maka berdasarkan Undang-Undang Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagai Advokat, maka Advokat wajib disumpah terlebih dahulu menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.[5]

 

Menjadi seorang advokat memanglah tidak semudah membalikan telapak tangan, penuh proses yang harus dilewati oleh calon advokat. Proses tersebut selain untuk memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang advokat, tetapi juga sebagai proses penempaan diri supaya mental, fisik, maupun daya analisis (Analysa thinking) dapat tajam dan kuat sehingga ketika nanti menjadi seorang advokat dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai advokat yang tidak melenceng dari ketentuan yang berlaku dan profesinya sebagai profesi yang officium nobile

 

Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.  Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

2.  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016


Sumber Referensi:

[1] Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

[2] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 

[3] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016

[4] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

[5] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Admin RA

02 Oktober 2022

Jerat Pidana Terhadap Pelaku Obstruction of Justice Dalam Proses Penegakkan Hukum

Jerat Pidana Terhadap Pelaku Obstruction of Justice Dalam Proses Penegakan Hukum

 

Penegakan hukum adalah proses berbagai rangkaian upaya untuk dapat tegak atau berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dan telah diatur sebagai pedoman perilakunya dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara.

 

Dalam praktiknya proses penegakan hukum kerap kali mengalami berbagai hambatan. Istilah obstruction of justice merupakan terminology hukum yang berasal dari literature Anglo Saxon, yang dalam doktrin ilmu hukum pidana di Indonesia sering diterjemahkan sebagai “tindak pidana menghalangi proses hukum.”[1]

 

Pengertian Obstruction of Justice

Obstruction of justice merupakan salah satu jenis perbuatan pidana contempt of court. Contempt of court adalah perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan, Lembaga peradilan.

 

Sementara itu, mengacu pada penjelasan di laman Cornell Law School, obstruction of justice dapat berupa tindakan memberikan ancaman atau kekerasan, termasuk lewat surat dan melalui saluran komunikasi, untuk menghalang-halangi proses hukum. Ancaman itu bisa ditujukan pada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat) maupun para saksi, tersangka, dan terdakwa. Menyuap saksi agar memalsukan keterangan juga menjadi salah satu contoh perbuatan obstruction of justice.

 

Baca Juga Artikel Terkait: Mengenal Pembebasan Bersyarat dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

 

Suatu perbuatan atau percobaan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana menghalangi proses hukum (obstruction of justice) apabila memenuhi 3 unsur penting, yaitu :

  1. Tindakan yang dapat menyebabkan tertundanya proses hukum.
  2. Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya. 
  3. Pelaku melakukan atau meencoba tindakan menyimpang yang bertujuan untuk menggangu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum. Ada satu unsur tambahan yang diterapkan di Pengadilan Amerika, yaitu harus membuktikan bahwa terdakwa mempunyai motif tersendiri untuk melakukan Tindakan yang dilakukan.

Ketentuan Pidana  

Ketentuan hukum yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi pelaku yang menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice) diatur dalam Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Bunyi Pasal 221 ayat 1 dan 2 KUHP

  1. Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500. 
  2. Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang sudah melakukan sesuatu kejahatan yang dituntut karena sesuatu perkara kejahatan, atau barangsiapa menolong orang itu melarikan dirinya dari pada penyelidikan dan pemeriksaan atau tahanan oleh pegawai kehakiman atau polisi, atau oleh orang lain, yang karena peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan jabatan kepolisian; (K.U.H.P. 119, 124, 126, 216, 331). 
  3. Barangsiapa yang sesudah terjadi kejahatan, membinasakan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda tempat melakukan atau yang dipakai untuk melakukan kejahatan itu atau bekas-bekas kejahatan itu yang lain-lain, atau yang berbuat sehingga benda-benda itu atau bekas-bekas itu tidak dapat diperiksa oleh pegawai kehakiman atau polisi baikpun oleh orang lain, yang menurut peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan jabatan kepolisian, segala sesuatu itu dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu atau untuk menghalang-halangi atau menyusahkan pemeriksaan dan penyelidikan atau penuntutan (K.U.H.P. 180 s, 216, 222, 231 s)
  4. Peraturan ini tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan yang tersebut itu dengan maksud akan meluputkan atau menghindarkan bahaya penunututan terhadap salah seorang kaum keluarganya atau sanak saudaranya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau dalam derajat yang kedua atau yang ketiga dari keturunan yang menyimpang atau terhadap suami (istrinya) atau jandanya. (K.U.H.P. 166, 367).


 

[1] Shinta Agustina dan Saldri Isra. Et.al, Obstruction of justice, Themis Book, Jakarta, 2015, hlm 29

Admin LR

15 September 2022

Mengenal Pembebasan Bersyarat dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

Dalam hal pembebasan bersyarat tentunya akan berkaitan dengan istilah “Narapidana”. Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu dan seumur hidup atau terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan putusan, yang sedang menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan.[1] Sedangkan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang dikenal adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi Pembinaan terhadap Narapidana.[2]

 

Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lapas untuk menintegrasikan dengan keluarga dan masyarakat. Kemudian untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan bahwa pembebasan bersyarat narapidana harus sudah menjalani masa pidana paling singkat ⅔  (dua pertiga) dengan ketentuan ⅔  (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.[3]

 

Pembebasan bersyarat juga merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Pembebasan bersyarat harus bermanfaat bagi narapidana dan anak serta keluarganya dan diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan pembinaan, keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. [4]

 

Pasal 10 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menerangkan bahwa Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. [5] Itu artinya pembebasan bersyarat merupakan suatu hak Narapidana itu sendiri yang dapat mengajukan pembebasan bersyarat. Seseorang untuk mendapatkan atau memperoleh pembebasan bersyarat tentunya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.

 

Salah satu cara untuk mendapatkan pengurangan adalah dengan mengajukan pembebasan bersyarat. Seseorang yang mendapatkan pembebasan bersyarat tentu berbeda dengan bebas murni. Seseorang yang bebas murni sudah dapat menghirup udara bebas dan menikmati hidup layaknya orang biasa lainnya. Sedangkan pembebasan bersyarat tidak, karena pembebasan bersyarat ada persyaratan yang harus dipenuhi dan diperhatikan.

 

Baca Juga Artikel: Mengenal Justice Collabolator dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

 

Syarat pembebasan bersyarat secara umum

Pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat:

  1. telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan;
  2. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana;
  3. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan
  4. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.[6]

Syarat pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud di atas dibuktikan dengan kelengkapan dokumen: 

  1. Salinan kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;
  2. laporan perkembangan pembinaan sesuai dengan sistem penilaian pembinaan narapidana yang ditandatangani oleh Kepala Lapas;
  3. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas;
  4. surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Pemasyarakatan yang bersangkutan;
  5. salinan register F dari Kepala Lapas; 
  6. salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas;
  7. surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; dan 
  8. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, lembaga sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau Yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa: Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Pembebasan Bersyarat.[7]

Adapun, keluarga yang dimaksud di atas adalah suami/istri, anak kandung, anak angkat, anak tiri, orang tua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau ipar dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal. [8]

 

Baca Juga Berita: Pakar Hukum Pidana Menilai Pembebasan Bersyarat Mantan Jaksa Pinangki Menyakiti Keadilan Masyarakat

 

Nah, itulah pegenalan terkait dengan pembebasan bersyarat. Semoga bermanfaat.


Referensi:

[1] Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan.

[2] Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan.

[3] Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

[4] Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. 

[5] Pasal 10 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

[6] Pasal 82, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat

[7] Pasal 83 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. 

[8] Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. 

Admin RA

12 September 2022

Penyelesaian Kasus Pembagian Kewarisan yang Berkaitan dengan Wasiat

Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman di dalamnya termasuk agama, suku bangsa, ras, etnis, suku, bahasa, adat, dan lain sebagainya. Melihat keberagaman tersebut tentu hal permasalahan bisa beragam juga, oleh karena itu dalam menyelesaikan suatu permasalahan tidak serta merta menggunakan satu cara atau metode yang sifatnya generiali (umum), melainkan bisa menggunakan sifatnya yang lebih khusus (speciali) karena mengingat dengan keberagaman di negara tersebut. 

 

Warisan adalah suatu harta dari orang yang meninggal untuk dibagikan kepada masing-masing ahli waris. Dalam bukunya Ahmad Bisyri Syakur berjudul “Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris Islam: Dilengkapi Hibah & Wasiat” bahwa secara singkat waris bisa diartikan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan di sini dapat berupa rumah, kendaraan, tanah, uang dan lain sebagainnya. 

 

Pembagian kewarisan secara Hukum Islam yaitu bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah, sebagai contoh yaitu anak laki-laki mendapat 2 bagian sedangkan anak perempuan 1 bagian. Pembagian tersebut tertuang dalam al-Qur’an. Permasalahan pembagian kewarisan ini masih terus terjadi di kalangan masyarakat, hal tersebut sudah menjadi hal yang wajar karena memang orang tidak ingin dirugikan oleh satu pihak dalam hal pembagian waris, dengan begitu banyak ahli faraidh yang membantu dalam hal pembagian waris dengan cara memilih di antara salah satu pembagian waris yaitu apakah pembagian waris secara Hukum Islam, Hukum Adat atau Hukum Perdata. Dengan melihat begitu maka secara otomatis harus memilih salah satu saja dan dalam pembagian waris tidak bisa dibagi dengan kedua atau semua pendekatan secara hukum yang berlaku di Indonesia baik Hukum Islam, Hukum Adat, atau Hukum Perdata (Choice of Law) dalam tatanan praktik. Bukan hanya itu menurut Nasrullah Nasution bahwa hal tersebut karena mengingat di Indonesia masih menganut pluralisme hukum. Serta di dalam praktik, pilihan hukum ini menimbulkan berbagai masalah, karena ahli waris bisa saling gugat ke pengadilan.

 

Pembagian warisan yang ada di masyarakat tentu sangat beragam ada yang tidak melihat bagaimana cara pembagian menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dan ada juga yang menggunakan pembagian waris sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Warisan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris terdapat variannya yang ada di kalangan masyarakat, dan hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi. Salah satunya yaitu pewaris yang meninggalkan harta warisnya dan hendak dibagi kepada masing-masing ahli waris sesuai bagiannya, tetapi di dalamnya terdapat suatu wasiat oleh pewaris. Wasiat merupakan pemberian harta secara suka rela dari pewasiat. Hal tersebut dari sebagian kasus yang terjadi di lapangan dapat menimbulkan permasalahan karena orang yang diwasiati pewaris tersebut bisa saja mendapatkan bagian lebih dari ahli waris yang mana sudah tentu bagian-bagiannya atau bisa karena faktor tertentu yang dapat menimbulkan permasalahan. 

 

Wasiat dalam waris ini ketika hendak melaksanakan pembagian waris maka terlebih dahulu mengetahui wasiat apa yang hendak diberikan oleh orang tersebut sebelum meninggal. Hal tersebut guna mempemudah pembagian, bagaimanapun wasiat dalam pembagian kewarisan haruslah riil harta tersebut dari pewaris. Apabila terjadi hal demikian seperti wasiat dalam waris maka harus dipisahkan karena belum tentu haknya untuk setiap ahli waris.

 

Maksud dari Waris dalam Wasiat

Dalam berbagai permasalahan kewarisan terdapat banyak berbagai cara dalam menyelesaikan pembagian warisnya. Termasuk pembagian kewarisan dalam wasiat. Waris adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris (orang yang meninggal). Kemudian waris menurut Samidjo bahwa waris merupakan perpindahan seluruh harta kekayaan serta hak dan kewajiban atas tuntutan hukum dari generasi lama ke generasi baru (ahli waris). Kedua definisi di atas mengetahui bahwa waris adalah suatu harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal (pewaris) kemudian harta tersebut mengalami perpindahan dari pewaris ke ahli waris.

 

Sedangkan wasiat menurut bahasa dari bukunya Abd. Shomad mengutip dari M. Idris Ramoyo bukunya berjudul “Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W)”, bahwa mengandung beberapa arti yaitu, menjadikan, mewajibkan, berpesan, memerintahkan, menyambung, dan lain-lain.18 Kemudian wasiat menurut istilah adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki yang diberi wasiat sesudah orang berwasiat meninggal.19 Sehingga wasiat dari segi etimologi maupun terminologi wasiat bisa didefinisikan dengan pemberian hak milik secara suka rela yang dilaksanakan setelah pemberi tersebut meninggal. Wasiat akan menjadi hak yang menerima setelah pemberi wasiat itu meninggal dan segala urusan sudah dibereskan seperti utang-utang si pewasiat.

 

Baca Juga Artikel: Mengenal Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

 

Dapat disimpulkan bahwa waris dalam wasiat merupakan harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris (orang yang meninggal) untuk dibagikan kepada masing-masing ahli waris sesuai dengan bagiannya, tetapi di dalam harta tersebut masih terdapat suatu wasiat atau harta yang mesti diberikan kepada orang yang diberi wasiat tersebut. Oleh karena itu wasiat harus terlebih dahulu dibereskan sebelum pelaksanaan pembagian harta waris.

Pembagian Kewarisan yang di dalamnya Terdapat Wasiat Menurut Hukum Waris Islam

Pembagian dalam hal waris dalam wasiat menurut hukum waris Islam bahwa orang yang menerima wasiat adalah orang yang mampu secara keahlian untuk memiliki harta wasiat, dalam hal ini adalah orang yang tidak cacat akalnya, meskipun orang tersebut belum keadaan balig. Serta wasiat dapat dilakukan dengan lisan dihadapan dua orang saksi atau tulis dihadapan dua orang atau notaris hal ini sesuai dengan Pasal 195 ayat 1 KHI. Dalam hal wasiat orang yang tidak berhak menerimanya yaitu seperti halnya ahli waris yaitu berbeda agama, membunuh, dan hal lain sebaganya. Dalam hal ini adalah agama Islam.

 

Dalam hal hubungan waris dalam wasiat bahwa, wasiat tidak boleh dilaksanakan kecuali berdasarkan persetujuan ahli waris, hal ini diatur dalam Pasal 195 No. 3 KHI yaitu : “wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”. Dalam hal berwasiat ini pun harus memerhatikan aturan dan juga keperluan ahli waris, dengan begitu wasiat tidak boleh menggeser bagian-bagian ahli waris yang sudah ada ketentuannya. Jadi maksimal harta yang diwasiatkan adalah 1/3 dari harta peninggalan, hal ini diatur dalam Pasal 195 ayat 2 KHI. Ketika terjadinya wasiat dalam waris, maka seketika itu dalam pelaksanaan pembagian haruslah bersih, seperti biaya pengurusan jenazah, utang (jika ada), dan lain sebagainya. Jadi harta peninggalan pewaris yang akan dibagikan termasuk wasiat kepada ahli waris maka semuanya harta tersebut haruslah bersih atau riil sebelum dibagikan.

 

Sesuai dengan apa yang dibahas di atas sebelumnya, harta peninggalan pewaris yang akan dibagikan kepada para ahli waris harus sudah bersih dari semua biaya termasuk wasiat. ini berarti bahwa harta peninggalan (tirkah) harus dipotong dahulu (dikurangi) seperti biaya pemandian jenazah, dan kemudian utang (jika ada). Selanjutnya, harta tersebut dikurangi dengan wasiat (jika ada).


Dalam hal wasiat, maka jumlah atau wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 bagian dari seluruh harta yang akan dibagi. Dengan kata lain wasiat hanya boleh dibagi sampai batas 1/3 bagian harta peninggalan (setelah harta tersebut bersih). Selanjutnya sisa harta 2/3 bagian ini akan dibagikan kepada ahli waris. Adapun jika lebih dari 1/3 bagian harta yang diwasiatkan, maka wasiat tersebut hanya dibolehkan jika semua ahli waris menyetujuinya.

 

Baca Juga Artikel: Bedanya Permohonan dengan Gugatan di Lingkungan Hukum Acara Perdata

 

Berikut contoh kasus dalam penyelesaian pembagian kewarisan yang terdapat wasiat dari harta pewaris: Contoh Seorang anak laki-laki wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang istri dan anak perempuan tunggal. Harta peninggalannya berupa uang sejumlah Rp. 400 juta. Sebelum meninggal, dia pernah berwasiat kepada keluarganya dalam bentuk tulisan agar memberikan ¼ bagian dari hartanya kepada madrasah di tempat tinggalnya. 

 

Penyelesaian: 

Karena tidak melebihi 1/3 bagian. Maka wasiat boleh dilaksanakan tanpa persetujuan para ahli waris sehingga uang sejumlah ¼ x Rp. 400 juta = Rp. 100 juta diberikan kepada madrasah. 

Sisa uang sebesar 300 juta, dan dibagikan kepada para ahli waris sebagai berikut:
 Istri: 1/8 bagian= 1/8 x Rp. 300 juta = Rp. 37.5 juta
 Anak Perempuan : ½ bagian + Radd = (Rp. 300 Juta- Rp. 37.5 juta) = Rp. 262,5 Juta

 

Pembagian kewarisan yang di dalamnya terdapat wasiat dari harta pewaris, bahwa ketika terjadi pembagian harta waris dan ternyata di dalam harta tersebut terdapat wasiat maka hal yang diperhatikan adalah membagi wasiat terlebih dahulu dengan memerhatikan bagiannya yaitu 1/3 tidak boleh lebih, terkecuali semua ahli waris menyetujuinya. Selanjutnya melakukan pembagian harta waris sesuai dengan bagian-bagiannya menurut hukum waris Islam.

 

 

Referensi:

Noviansyah, Denny. Logam Tanah Jarang: Rare Earth Element. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 2018.

Irianto, Sulistyowati. Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan. np, Buku Obor, tt.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995

Nasrullah Nasution, Pilihan Hukum Waris. hukumonline.com

Yani, Achmad. Faraidh & Mawaris: Bunga Rampai Hukum Waris Islam. Jakarta: Kencana, 2016.

Samidjo. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Armiko, 1985.

Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, 2012.

Saija, R. dan Iqbal taufik. Dinamika Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta: CV Budi Utama, 2016.

Ramulyo, M. Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W). Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Muthiah, Aulia dan Novy Sri Pratiwi Hardani. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Medpress Digital, 2015.

Admin RA

07 September 2022

Mengenal Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

Pada perkembangannya ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat 2 United Nations Convetion Againts Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convetion Againts Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa Anti Korupsi 2003).

 

Secara terminologis Justice Collaborator diartikan sebagai “Peniup Peluit”, ada juga yang menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi pelaku yang bekerja saama dengan aparat penegak hukum”,.[1]

 

Menurut Council of Europe Commite of Minister bahwa yang dimaksud dengan Justice Collaborator atau Collaborator of Justice adalah seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau secara meyakinkan adalah merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisiasi dalam segala bentuknya, atau merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, namun yang bersangkutan bersedia untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau terorganisasi, atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang terkait dengan kejahatan terorganisasi maupun kejahatan serius lainnya.[2]

 

Sedangkan menurut Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang bekerja sama tanggal 14 Desember 2011, Pasal 1 Angka 3 memberikan definisi bahwa justice collaborator adalah saksi pelaku yang bekerja sama adalah saksi yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tidak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

 

Perkembangannya menurut Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 04 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu disebutkan bahwa sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

 

Baca Juga Artikel: Perbedaannya antara Kejahatan dengan Pelanggaran

 

Dalam surat keputusan bersama antara LPSK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan MA , Justice collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan yang bersangkutan apabila aset itu ada pada dirinya.

 

Untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai SEMA Nomor 04 Tahun 2011 diatur beberapa pedoman sebagai berikut:

  1. Yang bersagkutan merupakan salah satu tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset hasil suatu tindak pidana.
  3. Atas bantuannya tersebut, maka saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana berupa menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa piana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.[3]

Perkembangan terbaru dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia pengertian saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.[4]

 

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada prinsipnya hadirnya justice collaborator adalah untuk membantu penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana dan bekerjasama dalam menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan dengan efektif.

 

Nah, itulah beberapa yang bisa disampaikan terkait dengan justice collaborator dalam sistem hukum pidana di Indonesia, semoga bermanfaat.


Referensi:

[1] Lilik Mulyadi. Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator Dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime. Alumni, 2022.

[2] Ytirsa Yunus, “Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Collaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Direktorat Hukum dan HAM Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013.

[3] Lilik Mulyadi. Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator Dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime……Hal. 5.

[4] Rahman Amin. Perlindungan Hukum Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika. Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2020.

Admin RA

01 September 2022

Perbedaannya Antara Kejahatan dengan Pelanggaran

Tidak sedikit orang bertanya-tanya mengenai perbedaannya antara kejahatan dan pelanggaran. Kedua istilah tersebut mungkin bagi sebagian orang menjadi kebingungan perbuatan mana yang masuk ke dalam kejahatan ataupun ke dalam pelanggaran, Kedua istilah tersebut tentunya sangat berbeda. Lalu apa perbedaannya antara kejahatana dan pelanggaran itu?

 

Kejahatan dan Pelanggaran

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.

 

Menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal membedakan mengenai kejahatan menjadi 2 (dua) sudut pandang yakni secara yuridis dan sosiologis.

 

Pengertian kejahatan dari sudut pandang yuridis, R. Soesilo mendefinisikan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. sedangkan dalam pandangan sosiologis, kejahatan adalah perbuatan tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman, dan ketertiban.

 

Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana terdapat 2 (dua) cara untuk membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. yakni pandangan pertama adalah perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran, yang mana kejahatan dikatakan sebagai “rechtsedelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, namun telah dirasakan sebagai “onrecht”, yaitu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. sedangkan pelanggaran sebaliknya yaitu “wetsdelicten”, yang mana perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Sedangkan, pandangan kedua hanya ada pada perbedaan kuantitaif yaitu soal berat atau ringannya ancaman pidana dan pelanggaran.

 

Kemudian, menurut Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana menyatakan bahwa kejahatan dan pelanggaran itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Kejahatan sering disebut sebagai delik hukum, yang artinya walaupun perbuatan tersebut belum diatur dalam undang-undang, tetapi sudah dipandang sebagai suatu perbuatan yang seharusnya dipidana, sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang yang artinya dipandang sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang.

 

Baca juga: Bagaimana Penyelesaian Sengketa Terhadap Orang yang Mendirikan Bangunan di Atas Tanah Orang Lain Tanpa Izin?

 

Lebih lanjut menurut Andi Hamzah mengenai jenis pidana, menjelaskan bahwa  tidak ada perbedaan yang mendasar antara kejahatan dan pelanggaran. hanya pada pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara, sedangkan kejahatan sebaliknya.

 

Dengan begitu perbedaan kejahatan dan pelanggaran dapat kami rangkum menjadi beberapa poin di bawah ini:

  1. Kejahatan mengandung unsur “onrecht” yang mana walaupun perbuatan tersebut tidak tercantum di dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dilarang, namun orang memandang bahwa perbuatan tersebut pantas untuk dihukum. Sedangkan pelanggaran, perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui dan dapat dihukum setelah perbuatan tersebut dilarang yang menentukan demikian di dalam undang-undang. 
  2. Kejahatan memiliki sanksi berupa ancaman pidana penjara. Sedangkan pelanggaran tidak mengenal adanya sanksi ancaman penjara, dan biasanya dikenai sanksi denda.
  3.  Kejahatan merugikan orang lain, sedangkan pelanggaran biasanya lebih merugikan diri sendiri.
  4. Percobaan melakukan tindak kejahatan dapatlah dipidana, sedangkan percobaan melakukan tindak pelanggaran tidak dapat dipidana.
  5. Dalam tindak pidana kejahatan perlu adanya pembuktian, sedangkan dalam pelanggaran tidak perlu adanya pembuktian.
  6. Kejahatan biasanya menimbulkan suatu dampak yang besar dan tidak dapat diterima di lingkungan masyarakat, sedangkan pelanggaran tindakannya memberikan dampak yang ringan dan masih bisa diterima di lingkungan masyarakat.

Nah, itulah beberapa yang bisa disampaikan terkait dengan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Buku-buku:

  1. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
  2. Andi Hamzah. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2014.
  3. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, 1985.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

 

Admin RA

30 Agustus 2022

Apakah Membatalkan Jual Beli, Uang DP dapat Diambil Kembali?

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Pembatalan jual beli secara sepihak atau secara tiba-tiba tentunya dapat sangat terjadi. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab, entah karena barang yang dibeli tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, bahkan mungkin si pembeli sengaja ingin membatalkannya karena ada hal-hal lain yang menyebabkan si pembeli ini melakukan pembatalan jual-belinya. Namun, sempatkah berfikir bahwa saat kita membatalkan suatu perjanjian jual-beli yang diawal perjanjian terdapat DP (uang panjar), uang tersebut ketika terjadi pembatalan DP tersebut kembali? karena beranggapan barang yang hendak akan dibeli tidak jadi, maka uang DP juga wajib dikembalikan si penjual? lalu bagaimanakah pandangannya menurut hukum?

 

DP (Down Payment) atau yang lebih dikenal sebagai uang panjar yang biasa dilakukan di dalam transaksi jual-beli, merupakan sebuah opsi untuk mendapatkan jaminan barang yang mereka inginkan (sebagai tanda jadi). DP dapat dipahami antara kedua belah pihak yaitu pembeli dan penjual yang merupakan suatu unsur saling percaya diantara kedua belah pihak.

 

Baca Juga Artikel Terkait: Memahami Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian

 

Terkait apakah membatalkan jual beli DP tersebut dapat diambil kembali atau tidaknya, kita mengacu kepada ranah hukum perdata yang secara jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam Pasal 1464 yang menyebutkan bahwa:

 

 “Salah satu pihak tidak dapat membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya”

 

Dengan begitu ketika dalam transaksi jual-beli terdapat salah satu pihak yang ingin membatalkan pembelian, DP atau uang panjar tidak dapat kembali. Apalagi dalam transaksi tersebut di awal tidak terdapat kesepakatan bahwa apabila terdapat pembatalan transaksi pembelian, DP tersebut dapat dikembalikan.

 

Referensi:

  1. Pasal 1464 KUHPerdata
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

Admin RA

16 Agustus 2022

Hal Penting yang Perlu Diperhatikan dalam Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Tidak sedikit masyarakat bertanya-tanya ketika mengajukan permohonan maupun berhadapan dengan permasalahan hukum yang memilih jalan keluar melalui meja hijau, mereka kebingungan dalam hal bagaimana cara membuat surat permohonan atau gugatan ke Pengadilan. 

 

Pembuatan surat permohonan atau gugatan ke pengadilan adalah salah satu hal yang penting, karena dengan adanya surat permohonan atau gugatan disanalah letak kita untuk memintakan permohonan kepada majelis hakim di muka persidangan. selain itu, dalil-dalil yang mendasari untuk mengajukan permohonan maupun gugatan dicantumkan di surat permohonan maupun gugatan.

 

Tidak sedikit masyarakat bertanya-tanya ketika mengajukan permohonan maupun berhadapan dengan permasalahan hukum yang memilih jalan keluar melalui meja hijau, mereka kebingungan dalam hal bagaimana cara membuat surat permohonan atau gugatan ke Pengadilan. 

 

Pembuatan surat permohonan atau gugatan ke pengadilan adalah salah satu hal yang penting, karena dengan adanya surat permohonan atau gugatan disanalah letak kita untuk memintakan permohonan kepada majelis hakim di muka persidangan. selain itu, dalil-dalil yang mendasari untuk mengajukan permohonan maupun gugatan dicantumkan di surat permohonan maupun gugatan.

 

Melihat hal tersebut,  pembuatan permohonan  maupun gugatan haruslah diperhatikan, karena akan berpengaruh terhadap proses persidangan ke depannya dan putusan majelis hakim. Isi permohonan maupun gugatan secara garis besar memuat 3 (tiga) hal sebagai berikut:

 

Identitas para pihak/pemohon

Identitas ini meliputi ama, alamat, umur, pekerjaan, agama, kewerganegaraan. Pencantuman tersebut haruslah diisi dengan benar, jelas, dan terang. Identitas para pihak sangat penting diperhatikan supaya tidak  mengakibatkan erorr in persona (kekeliruan terhadap seseorang).

 

Uraian Kejadian (Posita)

Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya segketa yang terjadi dan hubungan hukum yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hukum yang menadi dasar gugatan atau permohonan. Posita harus berhubungan dengan perkara dan posita satu dengan yang lainnya harus sinkron atau berhubungan dan tidak bertentangan. Posita harus dibuat dengan ringkas, jelas, dan rinci supaya tidak mengakibatkan obscure libel (kabur).

 

Permohonan (Petitum)

Petitum atau tuntutan adalah berisi rincian apa saja yang diminta dan diharapkan oleh penggugat/pemohon dalam putusan/penetapan majelis hakim.

 

Identitas para pihak, uraian kejadian (posita), dan permohonan (petitum) adalah 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan permohonan maupun gugatan.  

 

Referensi:

  1. Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama.

 

 

 

 

Admin RA

16 Agustus 2022

Apakah Perjanjian Tidak Sah Tanpa Dibubuhi Materai? Begini Penjelasan Hukumnya!

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Sebagian masyarakat tidak sedikit bertanya-tanya “Apakah perjanjian tanpa materai itu tidak sah? atau apakah perjanjian itu harus dibubuhi materai?”. Untuk menjawab persoalan itu tentunya kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan materai dan apakah materai diatur dalam hukum perjanjian terkait dengan syarat sahnya suatu perjanjian karena hal itu adalah garis besar sebagai tolok ukur kita dalam memahami terkait dengan sah atau tidaknya perjanjian tanpa materai.

 

Definisi Materai

Materai yang kita pahami dalam bahasa sehari-hari adalah sebuah kertas yang memiliki karakteristik tertentu dan digunakan untuk kepentingan tertentu. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, yang dimaksud dengan materai adalah label atau carik dalam bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.

 

Objek Materai

Objek materai sebagaimana Pasal 3 ayat (1) huruf a UU No. 10 Tahun 2020 tentang Materai adalah berupa dokumen yang sifatnya perdata yang berbunyi:

 

Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian yang bersifat perdata;

Kemudian dokumen yang dimaksud di atas, sebagaimana Pasal 3 ayat (2) UU No. 10 tahun 2020 tentang Bea Materai adalah berupa:

 

a. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya. 

b. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.

c. AktaPejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;

d. Suat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, meinuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;

g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp. 5. 000. 000,00 (lima juta rupiah) yang: 1. menyebutkan penerimaan uang; atau 2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan

h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

Fungsi Materai

Materai berfungsi sebagai pengenaan pajak atas dokumen tertentu dan sebagai alat bukti di Pengadilan (Pasal 3 ayat (1) huruf b UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai)

 

Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Terdapat hal-hal yang menjadikan suatu perjanjian tersebut sah, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320, yaitu:

  1. Kesepakatan, artinya kesepakatan atau konsensus para pihak yang mengadakan perjanjian.
  2. Cakap hukum, artinya orang tersebut mampu untuk melakukan perbuatan hukum.
  3. Hal tertentu, artinya objek suatu perjanjian dan yang menjadikan objek perjanjian adalah prestasi.
  4. Sebab yang halal, artinya isi perjanjian tersebut tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.

Baca juga: Memahami Konsep Dasar Perjanjian

 

Berdasarkan Pasal tersebut di atas yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, tidak terdapat suatu aturan atau penjelasan yang tegas bahwa perjanjian yang sah harus dibubuhi materai. 

 

Walaupun dalam UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai objek materai yaitu salah satunya surat perjanjian, namun yang menjadi tolok ukur di sini adalah “apakah sah/tidak” tentunya itu akan mengacu kepada ketentuan sahnya suatu perjanjian yaitu pada Pasal 1320 KUHPerdata.
 

Dengan begitu uraian di atas menjelaskan bahwasannya suatu perjanjian tanpa dibubuhi materai adalah SAH hukumnya selama unsur-unsur syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi.

 

Referensi:

  1. Pasal 3 ayat (1) huruf a UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
  2. Pasal 3 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
  3. Pasal 1320 KUHPerdata.
  4. Undang-Undang No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

 

 

 

Admin RA

10 Agustus 2022

Pentingnya Sosialisasi Keluarga terhadap Pembentukan Perilaku Anak sebagai Pencegahan Perilaku Menyimpang

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Peran sosialisasi terhadap pembentukan prilaku manusia sangatlah penting. Manusia hidup di dalam masyarakat tentu memiliki ketentuan-ketentuan yang dapat memengaruhi prilaku manusia di dalam masyarakat. 

 

Prilaku yang tertanam di setiap manusia tentu masing-masingnya berbeda. Tetapi dengan adanya perbedaan tersebut bukanlah suatu hambatan untuk tetap mewujudkan cita-cita masyarakat yaitu menciptakan suatu ketertiban di dalam masyarakat. 

 

Tetapi apabila menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di masyarakat seperti nilai-nilai atau norma tentu itu dapat menjadi suatu hambatan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat. Pembentukan prilaku manusia di dalam masyarakat yang menyimpang akan dapat  menghambat dari tujuan utama masyarakat yaitu menciptakan suatu ketertiban di dalam masyarakat. 


Prilaku yang menyimpang dari nilai-nilai atau norma yang tertanam pada manusia bukanlah hal yang diharapkan karena selain menghambat cita-cita masyarakat tetapi akan mengakibatkan ketegangan sosial dan ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadinya pembentukan prilaku yang menyimpang dapat terjadi karena kurangnya sosialisasi  atau dalam sosiologi lebih dikenal dengan sosialisasi yang tidak sempurna.  Sosialisasi tidak sempurna timbul karena nilai-nilai atau norma-norma yang dipelajari kurang dapat dipahami dalam proses sosialisasi sehingga seseorang bertindak tanpa memperhitungkan risiko yang akan terjadi. Sehingga menyebabkan penyimpangan.


Dalam proses sosialisasi yang lebih dulu atau utama adalah di lingkungan keluarga, lingkungan keluarga sebagai media utama dalam proses sosialisasi karena keluarga merupakan orang yang paling dekat dan manusia pertama kali yang mengajarkan berbagai hal sejak di dalam kandungan ibu hingga masa balita di keluraganya, maka diharapkan proses sosialisasi di lingkungan keluarga mesti dilakukan secara sempurna. 

Contoh prilaku menyimpang yaitu seorang anak menjadi anak yang suka mabuk, suka berantem, dan lain sebagainya. 

 

Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan mungkin kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan atau lain hal sebagainya, sehingga anak tersebut melewati proses sosialisasi yang tidak sempurna dari lingkungan keluarganya.  Contoh tersebut dapatlah menjadi pelajaran bahwa orang tua perlu untuk memberikan waktu lebih dengan anaknya, hal itu bertujuan untuk memberikan sosialisasi supaya tidak menjadikan prilaku yang menyimpang, karenanya media sosialisasi yang utama adalah dari lingkungan keluarga.

 

Menurut Edwin H. Stutherland, anak-anak yang melakukan kejahatan cenderung berasal dari keluarga yang retak (cerai salah satu, atau kedua orang tuanya meninggal, tekanan ekonomi, dan orang tuanya yang otoriter). 

 

Tetapi tidak menutup kemungkinan selain daripada pernyataan Edwin H.S kondisi keluarga yang tidak retak pun dapat berpotensi menciptakan pembentukan prilaku yang menyimpang, hal tersebut apabila mengabaikan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. 

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyimpangan sosial dapat terjadi karena sosialisasi yang tidak sempurna dan lemahnya pengendalian dari norma sosial yang berlaku.

 

 

Sumber Bacaan:
Akhdhiat, Handra dan Rosleny Marliani. Psikologi Hukum. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2011.

 

Admin DRP

08 Agustus 2022

Perbedaan Prinsipil Kesepakatan Perkawinan Dengan Hukum Perjanjian

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Kesepakatan Perkawinan

Sebelum melaksanakan perkawinan kepada setiap calon mempelai pria dan wanita perlu diadakannya kesepakatan kedua belah pihak. Tanpa adanya kesepakatan maka tidak akan terlaksananya suatu perkawinan, hal ini dikarenakan kesepakatan merupakan awal terbentuknya suatu perkawinan. Melihat hal itu berarti kesepakatan dalam perkawinan sangatlah penting untuk dicapai dan tentunya harus timbul dari kehendak pasangan yang bermaksud melangsungkan perkawinan. Andai kata kesepakatan sudah ditempuh di antara pasangan pria dan wanita, ternyata hal itu tidak berhenti hanya pada setiap pasangan saja, melainkan sampai kepada orang tua mereka yang pada akhirnya berupa izin kawin (Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974).

 

Pada dasarnya perkawinan bukan hanya mempersatukan hati antara pasangan pria dan wanita saja, tetapi juga sebagai perjumpaan antara kedua keluarga besar dari pasangan tersebut. Sehingga di sini sudah jelas kesepakatan dalam perkawinan mesti untuk diwujudkan baik antara pasangan sejoli maupun kedua keluarga yang bersangkutan.

 

Baca juga: Pentingnya Sosialisasi Keluarga terhadap Pembentukan Perilaku Anak sebagai Pencegahan Perilaku Menyimpang

 

Lalu Apa Perbedaan Kesepakatan Perkawinan dengan Hukum Perjanjian ?

Unsur sepakat sangat diperlukan saat mengadakan suatu perjanjian yang mana hal itu sebagai syarat keabsahannya dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1320. Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa salah satu sahnya suatu perjanjian adalah dengan adanya kesepakatan para pihak, dengan begitu hal ini perjanjian ketika sudah mencapai suatu kesepakatan (syarat sahnya perjanjian), maka dikatakan perjanjian tersebut berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya dan menciptakan suatu perikatan antara para pihak yang bersangkutan itu. Tetapi dalam ruang hokum perjanjian unsur sepakat di sisi lain dapat dipergunakan oleh para pihak (kontraktan) untuk mengakhiri perjanjian mereka. Tidak demikian halnya dalam urusan kawin, di mana dalam penulisan sebelumnya sudah disinggung mengenai kesepakatan dalam perkawaninan yang mana itu sangat penting. Memang perkawinan pertama-tama harus didasarkan kepada kesepakatan, tetapi kalau sudah  terbentuknya sebuah perkawinan, tidaklah dimungkinkan atas dasar kesepakatan yang bersangkutan dapat diakhiri oleh para pihak, mengingat hal ini adalah perkawinan yang merupakan ikatan suci. Inilah perbedaan prinsipil unsur sepakat dalam perkawinan dan dalam ranah hukum perjanjian.

 

Referensi:

Pasal 1320 KUHPerdata

Pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

H. Moch. Isnaeni. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2016.

Admin RA

08 Agustus 2022

Memahami Konsep Dasar Hukum Perjanjian

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Perjanjian sudah tidak asing lagi untuk kita dengar, karena yakin bahwasannya kita semua pernah melakukan atau mengadakan suatu perjanjian entah dengan teman, saudara, ataupun keluarga. Biasanya perjanjian yang kita kenal itu seperti apa sih? kesepakatan? atau kah persetujuan? apakah sama perjanjian yang kita kenal dengan perjanjian menurut Hukum Perjanjian?

 

Melihat hal di atas tentulah tidaklah salah karena di dalam perjanjian terdapat suatu unsur yang penting yaitu adanya kesepakatan diantara ke dua belah pihak yang bersangkutan. tetapi hal ini akan lebih dibahas lagi dari sudut pandang Hukum Perjanjian itu sendiri.

 

Perjanjian yang dapat kita pahami secara umum yaitu kesepakatan diantara pihak yang bersangkutan untuk melakukan suatu hal seperti apa yang telah dibuat dalam perjanjian tersebut. pengertian itu pun tidaklah jauh berbeda dari pengertian perjanjian menurut Subekti, yang mana yang dimaksud perjanjian itu adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. dengan begitu antara edua belah pihak tersebut timbulah suatu hubungan yang dinamakan suatu perikatan.

 

Selain itu definisi perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

 

Beberapa ahli hukum pun memberikan penjelasan juga terkait dengan definisi perjanjian. menurut Abdulkadir Muhammad bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal dalam suatu lapangan harta kekayaan.

Kenapa dalam suatu lapangan harta kekayaan? menurut penulis hal tersebut dikarenakan dalam hal mengadakan suatu perjanjian secara besar kita lihat menyangkut kepada suatu perjanjian-perjanjian yang menyangkut suatu harta atau materi yang dimiliki seseorang yang mengadakan dan melaksanakan suatu perjanjian tersebut.

 

Kemudian menurut Setiawan, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Melihat penulisan di atas dapat kita pahami bahwa, definisi perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang terdapat suatu konsensus diantara para pihak yang mana saling berjanji untuk melakukan suatu hal dengan begitu timbulah suatu perikatan diantara pihak yang mengadakan dan melakukan suatu perjanjian tersebut.

 

 

Referensi:

Muhammad, Abdulkadir. 1990. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cet. II

Subekti. Hukum Perjanjian. 2005. Jakarta: Intermasa.

Setiawan, R. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Jakarta: Putra Abardin. Cet. XI.

Admin RA

08 Agustus 2022

Mengenal Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Di dalam hukum perjanjian terdapat asas yang penting dan di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setidaknya terdapat lima asas yang menjadikan dasar perjanjian dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas personalitas. berikut penjelasan kelima asas tersebut:

 

Asas kebebasan berkontrak.

Asas ini merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini dapatlah dilihat dan dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bunyinya yaitu “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

  1. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
  2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
  3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
  4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu melakukan perjanjian dengan bentuk tertulis atau lisan.
  5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dari penjelasan di atas dapatllah dipahami bahwa asas ini lebih cenderung memiliki keleluasaan bagi para pihak yang bersangkutan untuk melakukan atau mengadakan suatu perjanjian atau kontrak. Keleluasaan yang dimaksudkan adalah suatu dasar yang memberikan jaminan kepada seseorang untuk secara bebas dalam melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak.

 

Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme merupakan asas perjanjian yang mana bisa dilihat dan dianalisis atau bisa dikatakan juga sudah tersimpulkan di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dalam pasal tersebut menerangkan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu diantaranya adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme ini singkatnya adalah bahwa timbulnya suatu perjanjian atau kontrak adalah pada saat terjadinya kesepakatan. Maksud dari kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.  Maka dengan begitu ketika terjadinya suatu kesepakatan diantara para pihak yang bersangkutan dalam melakukan perjanjian atau kontrak maka pada saat itu pula timbulah suatu perjanjian atau kontrak. Hal tersebut berarti bahwa dengan tercapainya suatu kesepakatan kedua belah pihak, maka melahirkan pula kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian atau kontrak tersebut (obligatoir).

 

Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Kepastian Hukum)

Asas pacta sunt servanda disebut sebagai asas kepastian hukum yang merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. kemudian juga asas ini merupakan asas yang mana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi dari kontrak yang dibuat oleh para pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak, Hal ini berarti dalam melakukan sebuah perjanjian, asas ini menerangkan bahwa mereka tidaklah dibolehkan melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak layaknya itu adalah sebuah Undang-Undang. Sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan bunyi “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang”.

 

Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas itikad baik ini merupakan asas di mana yang memang perlu dalam hal membuat suatu perjanjian atau kontrak. Asas ini menjadikan harapan bagi setiap pihak dalam melakukan perjanjian perlulah didasari dengan itikad baik. Andaikata dalam melaksanakan perjanjian tidak didasari dengan itikad baik maka dapat memicu timbulnya suatu sengketa. Mengenai asas itikad baik bahwa sudah diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan bunyi “Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang tangguh atau kemauan baik dari para pihak.

Sehingga secara umum, mengenai asas itikad baik ini harus diadakan dalam halnya suatu perjanjian atau kontrak supaya kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.

 

Asas Personalitas (Asas Kepribadian)

Mengutip dari bukunya Salim H.S bahwa asas kpersonalitas atau yan dikenal sebagai asas kepribadian merupakan asas yag menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan pribadi (persorangan) saja. Hal itu terdapat ketentuannya dalam Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang bunyinya “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Melihat ketentuan dalam pasal tersebut dengan kata lain bahwa perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yang bersangkutan hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. kemudian menurut penulis dengan melihat kata-kata dari pasal tersebut yaitu “Pada umumnya” berarti dapat mengindikasikan ada sesuatu hal yang khusus/lain, mengenai hal tersebut ternyata ketentuannya adalah dengan adanya suatu pengecualian yang terdapat pada Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yang bunyinya “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini menunjukan bahwa seseorang dapat mengadakan suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan syarat yang telah ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), tidak hanya mengatur perjanjian untuk perseorangan saja, melainkan ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh haknya. Pasal 1318 mengatur tentang perjanjian untuk kepentingan: (a) dirinya sendiri, (b) ahli warisnya, (c) orang yang memperoleh hak dari padanya.

 

Dengan melihat penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa secara umum memang perjanjian itu untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi hal itu terdapat pengecualiannya yang terdapat pada Pasal 1317 KUHperdata, kemudian untuk Pasal 1318 KUHPerdata adalah ruang lingkupnya yang luas.

 

Referensi:

H.S Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Depok: Rajawali Press, 2020.

Admin RA

02 Agustus 2022

Peran Asas-Asas Hukum yang Terkandung di Dalam Hukum

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Hukum merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh Lembaga berwenang yang memuat suatu sanksi di dalamnya bagi si pelanggar. Hukum juga dibuat untuk mengatur tingkah laku atau prilaku manusia supaya tidak menyimpang dari nilai-nilai dan norma yang berlaku di Masyarakat. Hal itu pun sebagaimana menurut Ulpian mengenai hukum yaitu pengetahuan yang bersifat surgawi dan manusiawi, yang mana pengetahuan tentang apa yang benar dan yang tidak benar. Dengan begitu adannya hukum adalah bukan semata hanya untuk mengatur, melainkan juga mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kita sebagai subjek hukum.

 

Penulisan di muka dapat diindikasikan bahwa memang suatu peraturan hukum itu pada dasarnya untuk mengatur. Tetapi dalam hal ini peraturan hukum juga tidak dapat direalisasikan secara sempurna dalam suatu peristiwa hukum tanpa adanya suatu pondasi yang dapat mengokohkan peraturan hukum tersebut. Pondasi yang dimaksud adalah asas-asas yang terkandung dalam suatu hukum.

 

Ketika berbicara mengenai asas maka kita akan membicarakan mengenai unsur yang sangat penting dan pokok dari peraturan hukum itu sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum, bahwa asas hukum merupakan “Jantungnya” peraturan hukum. Hal tersebut dikarenakan asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu hukum, itu berarti peraturan hukum itu akan kembali kepada asas-asas tersebut.

 

Paton menyebutkan bahwasannya asas hukum bukan hanya berisi peraturan-peraturan hukum saja, melainkan mengandung nilai dan tuntutan-tuntuan etis. Oleh karena itu asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.

Asas hukum bukanlah merupakan suatu peraturan hukum, namun untuk memahami suatu hukum maka harus mengetahui asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum tidak bisa hanya melihat dari peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan kepada asas-asas hukumnya juga.

 

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa asas berperan sebagai pondasi dan peraturan hukum sebagai kontruksi bangunan di atasnya. Ketika suatu kontruksi bangunan tanpa adanya pondasi maka akan mudah roboh yang mana akan mengakibatkan lemahnya suatu peraturan hukum yang berlaku di masyarakat, hal itu dikarenakan dengan asas hukum inilah yang memberikan makna dan nilai etis kepada peraturan-peraturan hukum dan tata hukum itu.

 

 

Sumber bacaan:

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2012.

Admin RA

27 Juli 2022

Bagaimana Akibat Hukum Seseorang Melakukan Ingkar Janji dalam Suatu Kesepakatan / Perjanjian?

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Melakukan perjanjian dengan tercapainya kesepakatan adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu Perjanjian. Tetapi pernakah anda mengalami atau mendengar bahwasannya salah satu diantara mereka melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap apa yang telah diperjanjikan sebelumnya? Sebagai salah satu contoh yang sering terlihat dan terjadi di dalam lingkungan masyarakat adalah mengenai perjanjian utang piutang, yang mana seorang debitur tidak melakukan pembayaran tepat waktu atau tidak sama sekali bayar sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama. Lantas apa kaitannya dengan penulisan ini? Oke, kita lanjut ke bahasan inti yaaaa….

 

Pengertian Wanprestasi

Di atas merupakan kasus yang berkaitan dengan bahasan inti ini, yakni mengenai wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk (Bandingkan dari wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad perbuatan buruk).

 

Wanprestasi masuk kepada ranah Hukum Perdata dan diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur walaupun sudah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu. atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

 

Maksud dari wanprestasi sendiri adalah tidak melakukan apa yang dijanjikannya, artinya seseorang tidak memenuhi kewajibannya atas apa yang sudah disepakati bersama kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan begitu arti dari wanprestasi dapat dikatakan sebagai ingkar janji atau cedera janji.

 

Bentuk-bentuk Wanprestasi

Menurut Prof. Subekti wanprestasi dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu:

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan dalam bukunya R. Setiawan terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:

  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
  2. Terlambat memenuhi prestasi;
  3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

Bentuk-bentuk di atas dapatlah dipahami bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi (ingkar janji) itu tidak dari satu bentuk saja, melainkan banyak motif yang menjadikan seseorang tersebut wanprestasi. Kemudian hal tersebut pun dapat membantu apakah orang tersebut dikatakan wanprestasi atau tidak. Karena pada kenyataannya terkadang tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang tersebut melakukan wanprestasi, yang paling sederhana untuk memahami dan menetapkan seseorang tersebut melakukan wanprestasi menurut Prof. Subekti adalah dalam perjanjian itu sendiri yang mana bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Dengan begitu apabila orang tersebut melakukannya berarti ia telah melanggar perjanjian dan melakukan wanprestasi.

 

Akibat Melakukan Wanprestasi

Setiap orang yang melakukan wanprestasi akan mendapatkan akibat-akibatnya sendiri baik dari sisi hukum maupun luar hukum. Hukuman atau akibat yang akan diterima bagi setiap orang (debitur) yang melakukan wanprestasi setidaknya terdapat empat macam, yaitu:

  1. Ganti-rugi, sesuatu yang dikenakan kepada si debitur apabila wanprestasi. Bisa berupa ganti-rugi uang, barang, atau lain sebagainya sesuai apa yang diderita si kreditur.
  2. Pembatalan perjanjian, dalam hal ini termuat di Pasal 1266 KUHPerdata yaitu syarat batal selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
  3. Peralihan risiko, kewajiban debitur untuk memikul kerugian yang dialami kreditur akibat wanprestasi yang mana hal ini berlaku pada perjanjian yang objeknya suatu barang. Dengan begitu sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata yaitu jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya, kebendaannya atas tanggungannya.
  4. Membayar biaya perkara (jika perkara diselesaikan di meja persidangan).

 

Referensi:

-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

-Pasal 1243 KUHPerdata

-Pasal 1266 KUHPerdata

-Pasal 1237 KUHPerdata

-Setiawan, R. Hukum Perikatan. Bandung: Putra Abardin, 1977.

-Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.

Admin RA

27 Juli 2022

Bagaimana Penyelesaian Sengketa Terhadap Orang yang Mendirikan Bangunan di Atas Tanah Orang Lain Tanpa Izin?

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Permasalahan pasti akan selalu terjadi tanpa melihat waktu dan daerah baik itu di kota atau pun di perkampungan (pedesaan). Seperti halnya kejadian yang akan kita bahas sekarang ini yaitu mengenai kasus sengketa tanah yang disebabkan oleh pihak yang mendirikan bangunan di atas tanah orang lain tanpa izin si pemilik. Kasus tersebut sudahlah tidak asing untuk kita dengar, karena mungkin sering melihat kejadian tersebut di daerah kalian, seperti adanya pendirian bangunan di atas tanah orang lain tanpa izin, memakai dan mengelola tanah tanpa izin dari si pemilik tanah tersebut, atau mungkin terlibat langsung dalam kasus tersebut sekaligus mengikuti alur penyelesaian dari kasus tersebut. Walaupun demikian alangkah baiknya kita memahami kasus tersebut karena tentunya setiap kasus memiliki motif berbeda yang melatarbelakangi hal itu. Maka dari itu berikut penjelasan mengenai kasus penyerobotan tanah.

 

Pengertian Penyerobotan Tanah

Perlu kita pahami bahwa perbuatan penyerobotan tanah itu dilarang secara hukum. Kasus penyerobotan tanah ini sering terjadi di Indonesia dan merupakan kasus di bidang pertanahan. Makna dari penyerobotan sendiri merupakan suatu perbuatan yang mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang dengan tidak mengindahkan hukum dan peraturan, seperti halnya menempati tanah atau rumah orang lain yang bukan merupakan haknya.

 

Jadi, berdasarkan hal tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penyerobotan tanah itu merupakan suatu perbuatan di mana orang yang bukan merupakan hak dari atas tanah tersebut menempati tanah orang lain dengan tanpa izin dari si pemilik penuh tanah tersebut dan melanggar hukum.

 

Langkah Hukum Mengenai Kasus Penyerobotan Tanah

Mengenai langkah hukum dalam penyelesaian terkait kasus tersebut, tentu terdapat dua opsi yakni penyelesaian jalur pidana dan peyelesaian jalur perdata. Untuk penyelesaian jalur pidana, pihak yang terkait dan merasa dirugikan atas perbuatan penyerobotan tanah dapatlah menempuh dengan cara melapor polisi, hal ini dapat dilakukan dengan dasar hukum yang digunakan dalam mengajukan laporan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.

 

Dalam Perppu tersebut, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tanah itu adalah tanah yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan hukum. jadi tanah di sini adalah tanah yang memang dimiliki oleh orang atau badan hukum (Subjek Hukum) yang memiliki hak atas tanah tersebut. kemudian maksud dari “Yang Berhak” adalah orang atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah tersebut. dan Memakai Tanah adalah menduduki, mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.

 

Kemudian, karena hal tersebut diselesaikan menempuh jalur pidana dengan dasar hukum Perppu No. 5 Tahun 1960, maka apakah perbuatan penyerobotan tanah merupakan suatu tindak kejahatan? perbuatan penyerobotan tersebut bukanlah masuk kepada tindak kejahatan, melainkan tindak pidana pelanggaran, yang dalam hal ini sesuai pada Pasal 6 ayat (1) Perppu No. 5 Tahun 1960.

 

Selain daripada penjelasan di atas yang mana dengan dasar hukum Perppu No. 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, ternyata terdapat kejadian pula mengenai orang yang melakukan penyerobotan dengan mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain. Mengutip dari ehukum.com dengan judul artikel “Punya Tanah Diserobot Orang Lain? Begini Hukumnya”, bahwa kejadian tersebut berlaku Pasal 385 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan bunyi ” Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan, atau membebani dengan credietverband suatu hak tanah yang belum bersertifikat, suatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain mempunyai hak atasnya.”

 

Sehingga dengan melihat hal di atas dapatlah kita pahami bahwa terdapat aturan hukum yang mengatur mengenai perbuatan penyerobotan tanah tersebut, yaitu diatur dalam KUHP yakni Pasal 385, dan aturan yang memiliki artian yang lebih luas yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 15 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

 

Kemudian selain langkah hukum yang ditempuh melalui jalur pidana, dapat juga ditempuh melalui jalur perdata, yakni dapat dengan cara mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. Hal tersebut dikarenakan atas perbuatan seseorang yang melakukan penyerobotan tanah, tentu pihak yang memiliki hak atas tanah tersebut (pemilik) sangatlah dirugikan. Sehingga hal tersebut dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH), sebagaimana hal itu diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan bunyi “Tiap perbuatan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

 

Melihat Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di atas, sudahlah jelas maksudnya, bahwa singkatnya adalah setiap orang yang melakukan perbuatan dengan membawa kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut wajib untuk mengganti rugi kepadanya. Dengan begitu orang yang melakukan penyerobotan tanah dalam hal penyelesaian secara perdata dapat dilakukan dengan mengganti rugi atas kerugian yang didapat bagi pihak atau orang yang memiliki hak atas tanah tersebut.

 

Terkait membayar kerugian menurut Munir Fuady terdapat 3 jenis ganti rugi yaitu, bisa berupa ganti rugi nominal (memberikan dengan sejumlah uang tertentu), ganti rugi kompensasi (pembayaran kepada pihak yang dirugikan atas sebesar kerugian yang dialaminya), dan ganti rugi penghukuman (ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya).

 

Selain penyelesaian di atas yang sudah dijelaskan, tentunya dalam memecahkan dan menyelesaikan suatu permasalahan tidak hanya selesai di meja hijau saja, melainkan dapat ditempuh dengan jalur win-win solution dengan jalan musyawarah di luar pengadilan (non litigasi).

 

Banyak cara dalam menyelesaikan permasalahan, tidak hanya diselesaikan melalui jalur litigasi saja, melainkan non litigasi pun dapat terselesaikan.

 

Sumber Referensi:

- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya

- Pasal 6 ayat (1) Perppu No. 5 Tahun 1960

- Pasal 385 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

- Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Admin RA

27 Juli 2022

Bedanya Permohonan dan Gugatan di Lingkungan Hukum Acara Perdata

Penulis: Ryan Abdul Muhit, S.H.

 

Hukum acara perdata  merupakan aturan-aturan bagaimana berpraktek di dalam suatu persidangan yang berpegang kepada peraturan-peraturan yang berlaku. Di dalam hukum acara perdata kita akan mengenal istilah yang tidak asing untuk didengar tetapi terkadang masyarakat mengartikan istilah tersebut adalah makna yang sama padahal sesungguhnya makna dari istilah tersebut adalah berbeda. Apakah itu? Ya, tentunya terkait permohonan dan gugatan. Istilah tersebut dapat kita temui pada ranah keperdataan, untuk itu penulisan ini dibuat supaya dapat lebih mengenal dan memahami tentang apa itu permohonan dan gugatan.

 

Permohonan merupakan mengenai suatu perkara di pengadilan tanpa adanya pihak-pihak lain yang saling bersengketa. Sedangkan gugatan adalah kebalikan dari permohonan, yaitu suatu perkara yang terdapat pihak yang bersengketa. Untuk perbedaan lainnya berikut di bawah ini:

  1. Dalam permohonan hanya ada 1 pihak saja yang berperkara, sedangkan gugatan terdapat beberapa pihak yang bersangkutan.
  2. Dalam hal permohonan tidak ada sengketa, sedangkan gugatan terdapat sengketa.
  3. Dalam permohonan hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai tata usaha negara dan hasil daripada putusannya hanyalah suatu penetapan dan menerangkan saja (peradilan yang bukan sebenarnya). Sedangkan dalam gugatan fungsi hakim sebagai mengadili dan memutus suatu perkara (peradilan yang sebenarnya).
  4. Dalam permohonan produk dari peradilan berupa penetapan (beschiking). Sedangkan dalam gugatan putusannya bersifat menghukum kepada pihak yang bersengketa (vonis).
  5. Penetapan hanya mengikat kepada pemohon saja. Sedangkan putusan dalam gugatan mengikat kepada kedua belah pihak yang bersengketa.

Contoh dari permohonan yang banyak diajukan ke pengadilan adalah mengenai permohonan pengangkatan anak angkat, perbaikan akta catatan sipil, penetapan ahli waris, penetapan bagian ahli waris dan lain sebagainya. Sedangkan contoh dari gugatan yang diajukan ke pengadilan adalah gugatan cerai, gugatan ganti kerugian, gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum), dan lain sebagainya.

 

Sumber Referensi:

- Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama. Bandung: Mandar Maju, 2018.

- Ny. Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik. Bandung: Mandar Maju, 2019.

Admin RA

27 Juli 2022

location_on

Jl. Jendral Sudirman Komplek Pasar Harjamukti Blok A Ruko No. 08 Kota Cirebon 45143, Jawa Barat, Indonesia

phone

+62 857-5718-3104

email

[email protected]


Copyright © 2024 Dokter Law