Bagaimana Konsep Batasan Usia Nikah Menurut Pandangan Hukum Islam?

2023-01-03 20:01:37 Dipublish Oleh: Admin RA




Penulis: Fathonah - Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Editor  : Ryan Abdul Muhit 

 

Lahirnya Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terjadi perubahan yang fundamental terkait substansi hukum (materi) yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) yakni “penyamaan batasan umur pernikahan antara laki-laki dan wanita yaitu 19 tahun”. Sebagaimana dalam penjelasan Undang-Undang Perkawinan terbaru ini bahwa “batasan umur tersebut dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan agar dapat merealisasikan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas”.

 

Tujuan dengan adanya batasan umur perkawinan bagi perempuan dalam Undang-Undang ini adalah untuk mengurangi terhadap resiko pada kematian ibu dan anak serta menghambat laju kelahiran. Di samping juga terpenuhinya hak untuk melangsungkan hidup, tumbuh dan berkembangnya anak termasuk pendampingan orang tua dan memberikan akses bagi anak untuk memperoleh pendidikan yang layak sampai perguruan tinggi. Ini artinya, bahwa tujuan sebagaimana yang ditegaskan dalam “Undang-Undang No 16 Tahun 2019” tersebut merupakan upaya untuk mengangkat harkat dan martabat wanita, mengakhiri ketidakadilan, dan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Pengaturan batasan umur perkawinan dengan segala tujuan yang positif tersebut hakikatnya adalah memberikan jaminan keadilan, kepastian, dan kemanfatan dari tujuan hukum itu diciptakan.

 

Baca juga artikel terkait: Perbedaan Prinsipil Kesepakatan Perkawinan dengan Hukum Perjanjian

 

Melihat tujuan kebijakan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, secara filosofis dapat dikatakan sejalan dengan substansi hukum Islam (maqashid syariah) yaitu menciptakan kebaikan (kemaslahatan) sosial kepada manusia di masa sekarang dan masa depan. Meskipun dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan pasti mengenai ukuran batasan umur yang ideal dalam perkawinan karena itu bersifat ijtihadiyah. Namun hal ini dapat dimengerti bahwa sesungguhnya Islam tidak membolehkan perkawinan usia anak sehingga melahirkan ketidaksetaraan dan diskriminasi. Bahkan menurut Imam Asy-Syakukani dalam wablul Ghamam ‘alaa Syifaa’il ‘Awaam menyatakan bahwa perkawinan usia anak yang tidak melahirkan kebaikan harus dibatalkan dan lembaga yang berwenang juga berhak membatalkan perkawinan tersebut, anak yang terjebak dalam perkawinan dapat memutuskan perkawinan baik pada saat masih usia anak atau sudah dewasa. 

 

Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah (yang saat itu baru berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad SAW yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Surat al-Thalaq ayat 4.

 

Baca juga artikel terkait: Akibat Hukum Suami Tidak Memberikan Nafkah Lahir dan Batin Kepada Istri

 

Salah satu Hadis juga telah disebutkan tentang usia pernikahan, yang pernah dikatakan oleh Ibnu Masud, yang artinya: "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai ba-ah, maka hendaklah ia menikah, dan barang siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.” (H.R. Al-Bukhari)

 

Hadis yang telah disebutkan terdapat kata syabab yang mana kata tersebut bermakna pemuda. Sehingga pada umumnya masa aqil baligh dialami seseorang pada rentang usia 14- 17 tahun, namun generasi yang terlahir pada era sekarang banyak yang telah memiliki kemasakan seksual namun belum memiliki kedewasaan dalam berfikir.

 

Syarat baligh menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi menurut madzhab tertentu. Laki-laki dan perempuan harus memenuhi aqil baligh untuk dapat menikah menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik. dan tidak adanya syarat aqil baligh yang dimiliki menurut Imam Hanafi. Di aspek berikutnya Imam Hanafi mempunyai ketentuan hak ijbar dalam pernikahan. Usia 19 tahun menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai menurut undang undang di Indonesia. Walaupun pernikahan merupakan hubungan pribadi bagi seseorang. pemerintah berhak mengendalikan penduduk dan stabilitas masyarakat.

 

 

Sumber bacaan:

Dariyo, A. (2008). Psikologi Perkembangan Usia Dewasa Muda. Jakarta: Gresindo.

Kobar, m. (2021, agustus 01). Retrieved from dinas kependudukan dan pendudukan sipil kotawaringin barat : http://disdukcapil.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/vw-uu-perkawinan-diteken-usia-minimal-menikah-19-tahun

Kementrian Agama RI. (2018). Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta.

Manan, A. (2006). Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Nasional, D. P. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Yopani Selia Almahisa, A. A. (2021). Pernikahan Dini Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan. JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, 29.


Bagikan



location_on

Jl. Jendral Sudirman Komplek Pasar Harjamukti Blok A Ruko No. 08 Kota Cirebon 45143, Jawa Barat, Indonesia

phone

+62 857-5718-3104

email

[email protected]


Copyright © 2024 Dokter Law