RKUHP Manifesto Kolonialisme Wajah Baru

2022-11-12 11:11:18 Dipublish Oleh: Admin LR




Penulis : Sultoni - Pegiat Sosial

 

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang prosesnya sedang berjalan untuk disahkan, kini sedang dalam tahap sosialisasi yang dilakukan Kemenkumham di beberapa Perguruan Tinggi. Pada 21-22 November 2022 mendatang, DPR RI komisi III akan menggelar rapat membahas RKUHP. Rencananya, di akhir tahun 2022 RKUHP akan disahkan. 

 

Sayangnya masih ada 9 pasal yang akan mengancam kebebasan warga Negara. Kebebasan yang di masa berdarah-darah era kolonialisme diperjuangkan oleh segenap warga Negara untuk menjadi bangsa yang merdeka. Kebebasan yang di masa reformasi, agar terlepas dari otoritarianisme rezim Soeharto. Kini, kebebasan itu akan berakhir di rezim Jokowi.

 

Padahal RKUHP yang sedang dibahas ini, digadang-gadang mempunyai 5 misi, yakni : dekolonisasi yang artinya menghilangkan nuansa-nuansa kolonial, demokratisasi yaitu pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai konstitusi dan pertimbangan hukum, dan konsolidasi yakni penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagai UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi. 

 

Hal itu disampaikan oleh Edward Oemar Sharif Hiariej sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) dalam sosialisasi RKUHP di berbagai kota. 

 

Semangat itu hanya sebatas semangat belaka, tapi nuansa kolonialisme yang terdapat di KUHP lama semakin dipertegas,  mempertegas pengekangan terhadap warga Negara, memenjarakan mereka yang kritis, serta membunuh nalar kritis warga Negara. 

 

Dekolonisasi macam apa yang produk hukumnya justru memenjarakan nalar kritis, membungkam warga Negara yang bersuara, nir-empati terhadap keresahan warga. Misalnya, dalam pasal penghinaan terhadap aparatur Negara. Meski diksinya adalah penghinaan. Kita sama-sama tahu, bagaimana kesewenang-wenangan aparat hukum begitu telanjang dalam menafsirkan hukum. Lebih-lebih, kata Edward yang menjabat sebagai Wamenkumham, saat acara di Narasi TV, “Bahwa mekanisme penegakan hukum dalam memaknai pasal, ada di penegak hukum."

 

Baca juga : Mengenal Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

 

Ada banyak kasus dikriminalisasi, karena tafsir sesuka-suka mereka yang berkuasa. sebagai contoh kasus Budi Pego melawan tambang emas di Banyuwangi mendekam jeruji, karena dituduh mengibarkan Palu Arit, padahal dalam pembuktian persidangan, benderanya tidak ada.

 

Selain itu, kawan-kawan penolak PLTU di Indramayu, saat merayakan kemenangan  gugatan di PTUN, 4 warganya dipenjara, karena dituduh mengibarkan bendera Indonesia secara terbalik.

 

Ada beberapa pasal kontroversial di RKUHP. Saya akan merangkumnya di sini:

 

Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

 

Ruang lingkup yang diatur dalam RKUHP begitu serampangan. Misalnya, dalam pasal 1 dikatakan “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

 

Kemudian di pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”

 

Ayat 2 di pasal 2 mengatakan bahwa “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

 

Bahwa benar, bahwa adat di Indonesia begitu beragam dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai ada yang ada di berbagai daerah. Tapi implikasinya bisa runyam, bagaimana Negara sesuka-sukanya menentukan mana yang berlaku atau tidak.  Lebih-lebih cerita bagaimana masyarakat ada digusur begitu banyak yang kita dengar, misalnya masyarakat adat Besipae di NTT digusur dari tanah adatnya. 

 

Begitu dalam catatan tahunan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2020, terdapat 40 (empat puluh) kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang terjadi pada tahun 2020. Sebagian besar kasus tersebut merupakan kasus yang telah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi terus berlanjut karena tak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara.

 

Dengan hadirnya hukum yang hidup di masyarakat, alih-alih melindungi justru akan rentan dikriminalisasi. Lebih-lebih, pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan, ekspansi kapital di wilayah adat seperti peningkatan perluasan perkebunan sawit di Papua selama masa pandemi. Pada periode Januari – Mei 2020, diperkirakan 1.488 hektar hutan di Papua lenyap.

 

Penghinaan Terhadap Presiden, Wakil Presiden dan Lembaga Negara

 

Saking ogahnya mendapatkan kritik, aparatur Negara yang kerjanya banyak tidak becusnya membuat aturan untuk melindungi dirinya sendiri dengan adanya pasal penghinaan. Hal ini tertuang dalam pasal 218 ayat 1 “Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

 

Pasal selanjutnya 349 ayat 1 disebutkan, “setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara (mencakup DPR, kejaksaan, atau Polri), dapat dipidana dengan ancaman maksimal 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.”

 

Baca juga : Perbedaannya Antara Kejahatan Dengan Pelanggaran

 

Padahal menurut Wahyudi Djafar dari ELSAM mengatakan “Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal penghinaan ini. Inggris yang merupakan salah satu negara tertua dengan pasal defamasi pun sudah mencabutnya. Kenapa Indonesia justru ingin lebih represif dalam konteks penerapan pasal ini,” katanya, saat diwawancarai Vice Indonesia.

 

Begitu pula kata pengamat hukum dari Universitas Nasional (Unas) Ismail Rumadan menilai tidak ada dasar hukum acuan yang bisa melegitimasi pasal ini. “Pasal ini targetnya membungkam masyarakat agar tidak boleh mengkritik tingkah laku aparat penegak hukum yang cenderung melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM)," ujar Ismail saat diwawancarai Harian Terbit.

 

Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

 

Hal yang konyol selanjutnya adalah mempidana yang tidak sesuai dengan ideologi Negara. Tidak asing seperti hidup di Negara otoriter. Ideologi Negara yang dimaksud adalah ideologi yang bertentangan, seperti ideologi Marxisme/Komunisme. 

 

Pasal 188 berbunyi “Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

 

Sedangkan penjelasannya adalah yang dimaksud dengan “komunisme/marxisme-leninisme” adalah paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, yang mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.

 

Keanehannya adalah, menukil pendapatnya Jan Remmelink tentang Hukum Pidana “Hukum Pidana memiliki karakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah. Perintah dan Larangan tegas memberikan nuansa khas pada hukum pidana.” 

 

Pertanyaanya kemudian, larangan dan perintah yang tegasnya terletak di mana. Apakah ketika warga Negara belajar perihal ide akan menimbulkan kerugian bagi kemaslahatan publik? Atau apakah marxisme dan komunisme hanya dimiliki oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung? Bagaimana dengan Tan Malaka? Bagaimana dengan Soekarno, yang di masa perjuangannya juga terpapar dengan ide-ide komunisme dalam memperjuangkan kemerdekaan.

 

Tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan

 

Selanjutnya adalah perihal kontrasepsi. Negara, alih-alih melindungi warga negaranya dari penularan HIV/Aids, serta anak-anak stunting, yang orang tuanya tidak siap mempunyai anak karena berbagai faktor. Justru memperpanjang kesengsaraan untuk warga negaranya. 

 

Hal ini tercantum di Pasal 410 yang berbunyi “Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.”

 

Adapun di Pasal 411 tercantum keterangan: "Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

 

Maka, di hari anti kolonialisme ini. Saya menolak RKUHP yang prosesnya sedang berjalan. Saya sepakat, bahwa RKUHP perlu adanya pembaharuan, karena sudah tidak relevan dengan zaman. Tapi pembaharuannya bukan dalam rangka merepresif, mendiskrimasi dan fasis terhadap warga negaranya. 

 

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

 

Sumber Hukum :

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

 

Referensi :

Detiknews

kemenkumham.go.id

Narasi TV

Kompas.com

Vice Indonesia

Harian Terbit

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

BBC News Indonesia

Catatan Akhir Tahun 2020 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

 

 


Bagikan



location_on

Jl. Jendral Sudirman Komplek Pasar Harjamukti Blok A Ruko No. 08 Kota Cirebon 45143, Jawa Barat, Indonesia

phone

+62 857-5718-3104

email

[email protected]


Copyright © 2024 Dokter Law