Warga Padarincang atas Rencana Geotermal: Jangan Cari Untung dari Derita Rakyat

2022-11-19 11:11:51 Dipublish Oleh: Admin RA




Penulis : Sultoni

Editor   : RM

 

Padarincang, Banten. PT Sintesa Banten Geothermal  (SBG) pada 17 November 2022 berupaya merusak portal yang dibangun warga Padarincang sebagai benteng pertahanan menghadang eksploitasi gunung Prakasak yang akan dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB). 

 

“Sekitar pukul 9 pagi, TNI mengawal alat berat perusahaan PT. SBG yang mau membongkar portal yang dibangun warga,” tutur Yahdi kepada Dokter Law. 

 

“Kami lalu menghadang, agar alat berat tidak membongkar portal. Kami menyuruh operator untuk turun dari Ekskavator,” imbuhnya.“ Hal itu dilakukan, agar alat berat tidak menghancurkan portal yang dibangun warga. Tapi TNI menghalang-halangi kami, akhirnya kami lawan. Tapi hanya adu mulut,” lanjutnya lagi.

 

Baca juga berita terbaru: Kasus Investasi Bodong: Aset Indra Kenz Dirampas untuk Negara, Bagaimana Nasib Korban?

 

Teror Aparat terhadap Warga

Cerita Yahdi, dalam satu bulan ke belakang di desa Batu Kuwung, Padarincang, sering dijadikan latihan TNI. Latihannya tepat di pintu masuk rencana pengeboran panas bumi. Padahal biasanya, latihan militer itu di Rawa Dano, kampung Panenjoan, Serang. Baru-baru ini, ada latihan militer di sini. 

 

“Yang membuat curiga, pasca latihannya selesai, TNI tidak pada pulang. Ternyata ada alat berat yang mau masuk dan mereka (TNI) mengawal alat berat untuk membongkar portal,” keluh Yahdi. “Maka, kami tidak tinggal diam. Kami bahu membahu menghadang pembongkaran itu."

 

Selain desanya dijadikan latihan militer. Teror lainnya, masih kata Yahdi, adalah patroli TNI setiap malam keliling desa. Hal ini membuat kami tertekan secara psikis dan mental. “Di desa yang asri dan damai, kok dikelilingi TNI setiap malam,” resah Yahdi, yang merupakan bagian dari Syarikat Pejuangan Rakyat Padarincang (SAPAR). 

 

“Ternyata rangkaian fenomena itu ujungnya adalah mau mengawal alat berat untuk menghancurkan portal sebagai benteng pertahanan warga menolak eksploitasi  gunung Prakasak,” katanya. 

 

Teror  yang dirasakan oleh Warga Padarincang, disebabkan karena instrumen yang bekerja dalam kelembagaan dan kebijakan untuk mewadahi kepentingan akumulasi kapital. Praktik-praktik kerakusan terus menimbulkan kerusakan-kerusakan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat, kata Kus dalam jurnal Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik Agraria.

 

Maka, lanjut Kus, di dalam dinamika konflik agraria itulah, lembaga-lembaga negara justru bertindak sebagai aktor kekerasan terhadap rakyat melalui aksi-aksi yang diatas namakan penegakan undang-undang, berupa kriminalisasi, teror, intimidasi, penculikan, dan penembakan terhadap petani/pejuang hak-hak rakyat (Kus Sri Antoro 2013: 30).

 

Memukul Mundur Ekskavator

Setelah mengetahui gelagat yang mencurigakan dari TNI, warga siap siaga untuk melakukan perlawanan yang akan merusak desa Batu Kuwung. “Yang belum pulang dari latihan itu TNI-TNI yang baru jadi, yang masih muda-muda gitu,” tutur Yahdi. 

 

“Semakin siang, semakin banyak. TNI-nya dari Kodim, kalau tidak salah. Datangnya menggunakan mobil-mobil pribadi buat mengawal ekskavator itu.”

 

Yahdi menuturkan duduk perkara cekcor dengan TNI. Lanjut Yahdi, TNI merangsek masuk, mengitari alat berat itu. Dengan tujuan menjaga mungkin ya, takut dirusak masyarakat.  Sedangkan warga mencari operatornya, agar diturunkan dari lokasi itu. Agar tidak membongkar portal. Cekcok di situ. Di  lokasi pintu gerbang, cekcok dengan TNI, mereka mengalah mengembalikan alat berat.

 

Baca juga berita terbaru: Respon Komnas HAM Mengenai Penangkapan Mahasiswa dalam Aksi KTT G20 di Bali

 

Kemudian di atas sana, di persimpangan lokasi pengeboran geothermal jalan mau turun ke desa, alat beratnya mau ke atas, ke lokasi pengeboran. Nah karena dikawal oleh masyarakat. Warga pengennya alat berat di bawa pulang ke perusahaannya. Terjadi cekcok lagi di situ. Akhirnya, warga bisa menyakinkan militer untuk membawa pulang alat berat itu.

 

“Alhamdulillah, kalo portal tidak dihancurkan, bisa kita jaga. Karena alat berat berhasil kita pukul mundur. Sudah dibawa pulang ke Anyer, Banten,” ungkap Yahdi.

 

Perlawanan yang ditunjukkan oleh warga Padarincang sebagai respon mempertahan diri dari ketamakan kapital dan Negara, agar ruang hidup beserta kehidupannya tidak dirampas. Kus, memaparkan bentuk perlawanan bervariasi  tergantung dari  bentuk  kapitalisme yang dihadapi; aktor yang dihadapi; struktur sosial di mana konflik struktural itu berlangsung; dan kesempatan politik yang dipunyai oleh rakyat. 

 

“Beragam bentuk perlawanan itu, respon Negara dan korporasi berupaya menghentikan pelawanan yang dilakukan warga. Entah secara fisik, regulasi, pengorganisasian kekerasan (premanisme), pelabelan dan pewacanaan bagi mererka yang menolak patuh yang kemudian dituduh sebagai musuh bersama,” papar Kus.

 

Begitu pula menurut Fuad Faizi, dosen sekaligus peneliti di IAIN Syekh Nurjati Cirebon menjelaskan bahwasanya “Perlawanan yang dilakukan warga yang kehidupannya akan dirugikan, adalah sesuatu yang wajar,” ungkapnya, saat diwawancara oleh DokterLaw.

 

Faiz, panggilan akrabnya, menyetir perkataannya Michel Foucault “when there is power, there is resistance." Maka bukan sesuatu yang asing, konflik-konflik agraria selalu diwarnai dengan perlawanan, karena akan mengancam keberlangsungan hidup dan kehidupan warga.

 

Pesan Warga Padarincang

Warga Padarincang, menurut penuturan Yahdi sangat berharap bahwasanya di desanya jangan dijadikan sebagai tempat eksploitasi panas bumi. Alasannya, karena belum berjalan saja, perusahaan sudah mendatangkan banyak sekali dampak negatif.

 

Alasan Yahdi sejalan dengan Fuad Faizi, bahwasanya “Dampak-dampak negatif dari eksplorasi geothermal itu akan dirasakan warga yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas hidup mereka,” jelasnya.

 

Lebih jauh, Faiz menjelaskan, jadi warga terdampak sekitar itu lah yang akan merasakan secara langsung penurunan kualitas hidup mereka. Sehingga wajar jika mereka akhirnya melakukan perlawanan karena dampak-dampak negatif itu akan mereka rasakan secara turun-menurun ke anak cucu mereka selama eksplorasi itu ada.

 

Pun temuan-temuan dalam penelitian dampak dari adanya Geotermal dalam jurnal yang tulis oleh Fuad Faizi dan Syatori. Di mana penelitian itu mengulas dampak Geotermal yang ada di Gunung Ciremai. 

 

Mereka memaparkan bahwasanya, dampak dari ekstraksi panas bumi mengancam kelestarian sumber daya air, dan kesuburan tanah, karena tercemar bahan-bahan kimia yang disuntikkan di tanah serta mengancam kelestarian hidup dan kehidupannya warga yang menggantungkan hidupnya di desa.

 

Baca juga berita: Pembubaran Paksa Rapat Internal YLBHI di Bali

 

Bukan hanya itu, di saat berbagai negara di belahan dunia banyak yang melarang ekstraksi sumber daya alam karena dampaknya mengerikan untuk ekosistem alam. Mulai dari Amerika Serikat, Kananda, Jerman dan lain sebagainya (Global bans on fracking). Indonesia justru baru memulai untuk melakukan fracking yang justru membahayakan bagi kehidupan.

 

“Jangan lah cari untung dari derita rakyat,” tutur Yahdi. 

 

Juga pesan untuk pemerintah, yang diungkapkan Yahdi, bahwa rakyat ini penguasa tertinggi Negara. Mestinya harus menghormati keinginan warga Padarincang yang menolak geothermal. Pemerintah harusnya prihatin, karena kami peduli terhadap kelestarian lingkungan, menjaga kerusakan alam dan berdaya di desanya sendiri.

 

(Sultoni / Dokterlaw)


Bagikan



location_on

Jl. Jendral Sudirman Komplek Pasar Harjamukti Blok A Ruko No. 08 Kota Cirebon 45143, Jawa Barat, Indonesia

phone

+62 857-5718-3104

email

[email protected]


Copyright © 2024 Dokter Law